Prolog #1 Undangan Reuni

Start from the beginning
                                    

Meskipun reuni kali ini diadakan bertepatan dengan masa liburan, aku masih saja enggan untuk datang. Terlebih karena aku belum siap.

Tentu aku rindu dengan teman-temanku. Siapa memangnya yang tidak akan rindu dengan teman mereka? Hanya saja selama ini aku menghindar. Sudah aku katakan, aku belum siap.

Aku belum siap bertemu dengan sesorang yang mungkin akan hadir di setiap reunian tersebut. Seseorang yang aku tidak ingin temui lagi.

Seseorang yang membuatku memutuskan untuk menghilang selama ini dari hadapan teman-temanku. Seseorang yang membuatku enggan untuk datang ke acara reuni.

Memikirkannya, mendatangkan rasa sakit itu kembali di dadaku. Ia adalah orang yang dulu aku sukai secara diam-diam. Siapa pun kita, bukankah pernah melakukan hal yang demikian? Bukan hanya aku saja yang melakukannya di dunia ini.

Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Aku tidak pernah mencari tahu. Karena aku lah yang pergi dan menghilang. Seperti buih. Ini sudah terlalu lama. Mungkin dia sudah melupakan segalanya. Bahkan mungkin ia sudah lupa bahwa pernah ada aku di dunia ini. Seperti angin, siapa yang akan ingat dengan angin yang pernah menerpanya? Bukankah itu tidak akan ada?

Mungkin juga ia sudah tidak di dunia ini lagi, aku tidak pernah membuka satupun email yang dikirimkan oleh teman-temanku padaku. Siapa yang akan tahu? Salah satu dari email tersebut berisikan bahwa ia telah pergi meninggalkan dunia ini dengan tenang atau seperti itu karena beberapa hal.

Mungkin juga dia sekarang telah berkeluarga. Memiliki beberapa anak. Keluarga kecil yang luar biasa bahagia. Tidakkah terlalu banyak kemungkinannya?

Sekarang aku telah berada di apartemenku. Aku memutuskan berendam di kamar mandi guna menjernihkan pikiranku. Memikirkan pikiran-pikiran yang sempat terlintas di pikiranku dalam perjalanan pulang tadi, membuatku sedikitnya punya keinginan untuk ikut datang di acara reuni.

Mungkin, inilah saatnya aku kembali. Sudah saatnya aku bertemu kembali dengan teman-temanku. Tak mungkin juga aku akan bisa menghindar selamanya. Dan aku telah memutuskan - aku tekankan dalam pikiranku, dia tidak akan datang. Dan aku berharap dia tidak akan datang. Bukankah kekuatan pikiran kita itu kuat? Aku pernah membacanya di sebuah buku. Dalam buku tersebut, begitulah katanya. Jika aku berpikir dia tidak datang, aku harap dia tidak akan datang - aku akan datang, paling tidak kali ini.

***

Sekarang di sinilah aku. Aku berdiri di luar gerbang menuju sekolahku dulu. Setelah turun dari bus yang mengantarkanku tadi, aku telah berdiri di sini beberapa saat - mungkin sudah banyak dari teman-temanku yang berada di dalam sana.

Memikirkan itu, aku jadi rindu dengan mereka - anggap saja aku sedikit mengulur waktu di sini. Meski aku sudah berada di sini, aku masih saja dihantui oleh perasaan ragu dan takut. Bagaimana kalau ternyata dia juga datang? Apa yang harus aku lakukan untuk menghindarinya?

Sengaja aku tidak membawa kendaraan pribadiku, biar aku punya kesempatan yang besar untuk kabur tanpa terdeteksi nantinya jika memang itu diperlukan. Ini jelas pilihan yang bijak. Aku hanya membawa ransel yang tersampir di punggungku. Berisi beberapa pakaian yang akan kukenakan pada acara nanti, dan tentu saja pakaian tidurku, karena akan menginap.

Menghilang di tengah keramaian bukanlah hal yang sulit bagiku. Sebut saja hal itu salah satu bakat alami yang aku miliki. Jika tidak ada pilihan, kecuali menyelinap kabur di saat semua orang tengah tertidur lelap, akan aku lakukan nantinya. Namun  aku sangsi setelah sekian lama tidak bertemu akan ada yang mau tidur.

Aku memakai kacamata yang tadi sempat aku lepas, menatap ke dalam gerbang. Hanya satpam yang berada di pos gerbang. Aku tidak mengenalinya. Ituhal yang wajar. Ini sudah berlalu begitu lama seperti yang aku katakan tadi bukan?

Aku menghampirinya, menyerahkan kartu undanganku padanya supaya aku diberi akses untuk masuk. Dengan senyuman ramah, dia mempersilahkanku untuk masuk. Aku hanya nyengir sopan kepadanya, dan mulai berjalan masuk. Menapaki jalan yang dulu setiap hari aku lewati.

Suasananya masih sama. Di sisi kiri kanan jalan masih terdapat pohon-pohon yang begitu besar berjejer dengan rapi. Berbaris dengan kokohnya. Aspal jalan retak dan di beberapa sudut jalan, terangkat, hasil dari adu kekuadan dengan akar pohon yang selalu membesar sepanjang waktu, di mana kita telah melihat siapa yang menjadi pecundangnya. Dari dulu juga sudah begitu.

Di tanah daun-daun kering dari pohon tersebut berserakan. Beberapa berterbangan di udara karena baru saja gugur dari pohonnya. Meski ini adalah negara tropis, tapi entah kenapa pohon yang satu ini mengenal yang namanya musim gugur. Di saat buahnya mulai matang, daunnya mulai berguguran. Seperti sekarang ini.

Dulu biasanya akan selalu ada orang yang membersihkannya. Menyingkirkan daun-daun kering tersebut dari jalan.

Dan ini adalah pohon-pohon yang sama, pohon mahoni yang menjadi saksi bisu aku menghabiskan masa mudaku di tempat ini. Masa muda di mana penuh canda tawa, kehangatan, air mata, persahabatan, dan juga cinta tentunya.

Sekarang aku kembali ke sini. Sekali lagi, aku diseret kembali ke masa di mana saat aku berada diusia belasan tahun. Masa remajaku...

***


Ada sedikit revisi di sana sini. maklum, penulis abal abal yang baru belajar menulis. Masih galau. Tidak punya harapan yang besar dengan tanggapan yang baik. Tidak perlu menghujat jika tidak suka, cukup hengkang saja. Gampang kan???

Namun aku akan senang jika tulisanku ini dibaca dan diberi vote, dan akan jauh lebih senang lagi jika ngasih vote + komentar.

Ahh ya, karena masih di suasana lebaran (ini masih hari kedua ya), aku mau ngucapin “Minal aidil walfaizin, mohon maaf lahir dan batin.”
Selamat berkumpul dengan keluarga… 😊😊

*Nunggu THR 😏😏

BROMANCE: Jungkir Balik Kehidupan Cowok Penghuni AsramaWhere stories live. Discover now