Satu

775 53 5
                                    

"Kayaknya penampilan malam ini special ya, Mbak?"

"Hehe iya nih. Pacarku mau ngajakin makan malam. Aku curiganya sih mau dilamar, abis belakangan ini tingkahnya aneh. Makanya aku dadan special kayak gini. Aduh, kalo dugaanku bener, dia bakal lamarnya gimana ya? Masukin cicin di makananku? Atau ngelamar dari atas panggung di depan orang-orang? Aku bener-bener deg-degan nih, sumpah!"

Queen tersenyum mendengar percakapan itu. Percampuran antara senyum bangga dan sinis. Bangga karena karyawan salonnya bisa mengobrol akrab dan ramah dengan costumer seperti yang dia titahkan selama ini. Dan sinis karena tak habis fikir, masih ada wanita yang tergila-gila pada lamaran padahal akan sakit hati sampai nyaris gila jika lamaran itu batal. Hah! Tipikal gadis lemah yang terlalu banyak bermimpi! Sangat bukan Queen sekali.

Prinsip hidup Queen adalah menjadi wanita kuat yang berdiri di atas kakinya sendiri. Dia tidak akan pernah bergatung pada siapapun, terutama laki-laki. Tidak akan pernah!

Jangan heran pada prinsipnya ini. Jika kamu menjadi saksi hidup pertengkaran kedua orang tuamu, dimana ibumu selalu menjadi pihak yang tak diinginkan dan tersakiti, akankah kamu sebagai wanita bertekuk lutut pada laki-laki? Jawaban Queen adalah tidak akan!

Prinsipnya itu pula lah yang membuatnya lebih memilih merintis bisnis salon & spa dengan usahanya sendiri daripada memegang tampuk kepemimpinan perusahaan Opanya. Dia tak mau hanya sekedar menjadi ahli waris seperti Mamanya dulu. Hidup dilimpahi harta namun tak pernah meneteskan keringat perjuangan. Hingga suatu hari dijodohkan dengan Papanya atas dasar perjodohan bisnis, menikah, lalu jatuh cinta, namun ternyata cintanya tak pernah dibalas, malah diselingkuhi setiap hari, tak mampu berjuang dan hanya bisa menangis, lalu sesuatu yang mengguncang hidupnya terjadi, maut menjemput suami tercintainya dalam sebuah kecelakaan dan membuatnya terpuruk tanpa punya sedikitpun daya untuk bangkit. Tahukah kalian pada akhirnya apa yang terjadi? Mamanya lebih memilih bunuh diri daripada membesarkan anak semata wayangnya yang masih kecil! Tidak! Queen tidak akan menjadi wanita seperti itu! Dia akan jadi wanita mandiri yang tidak bergantung pada siapapun! Apalagi Opanya, ayah dari Papanya yang brengsek itu!

Hah! Queen menghapus air mata yang entah sejak kapan terjun bebas ke pipinya. Dia melihat keadaan sekitar dan mendesah lega karena tingkah bodohnya ini tidak diperhatikan orang. Sedetik kemudian bibirnya malah tersenyum bangga melihat betapa ramainya salonnya ini.

Dengan gaji yang dikumpulkannya selama menjadi model ketika dikirim Opanya untuk kuliah ke New York dulu, Queen mulai merintis bisnis Salon & Spa yang hingga kini sudah mempunyai 10 cabang di penjuru Jakarta dan Bandung. Tak peduli jika kesehatan Opanya terus menurun karena sifat keras kepalanya yang tak pernah mau bergabung di Perusahaan, yang penting bagi Queen dengan begini idealismenya tidak terganggu. Meski hati kecilnya kadang menjerit-jerit sakit karena bersikap terlalu kejam pada Opa yang merawatnya sejak kecil, namun Queen bisa apa jika rasa takut akan mengulang kisah Mamanya selalu menghantui? Hanya ini yang bisa Queen lakukan demi melindungi dirinya sendiri. Hanya ini.

"Queen."

Queen mendengus ketika mendengar suara yang familiar itu. Reyhan, tangan kanan Opanya, muncul di hadapannya.

"Ada apa?" Queen mengucapkan itu dengan nada malas, namun dalam hati dia khawatir saat melihat ada keresahan dalam gelagat Reyhan.

"Pak Arif masuk rumah sakit. Sepertinya operasi bypass arteri jantungnya harus dipercepat."

Deg.

Queen berusaha sebaik mungkin mengatur raut wajahnya. "Ya udah, bentar lagi gue ke sana."

"Mobil sudah siap. Kita berangkat sekarang saja."

Meski matanya menatap tajam saat mendengar nada perintah Reyhan, namun tangan Queen tak urung mengambil tasnya lalu berjalan keluar salon.

-BEE-


Pandangan Reyhan memang lurus ke depan, namun fikirannya sibuk mereka ulang apa yang dibicarakannya dengan Pak Arif tadi, sesaat setelah beliau sadar dari pingsannya.

"Reyhan.." Suara itu terdengar lemah di telinga Reyhan.

"Ya, Pak?"

"Apa kamu sudah punya calon isteri?"

Keningnya berkerut dan otaknya mencoba menerka kemana arah pembicaraan ini. "Belum, Pak."

"Saya takut akan segera dipanggil Tuhan, Reyhan."

"Jangan bicara seperti itu, Pak."

"Saya takut jika saat itu terjadi, belum ada yang bisa menggantikan saya untuk menjaga Queen." Pak Arif memandang tepat kemanik matanya. "Maukah kamu menikah dengannya, Nak?"

Reyhan menelan ludah. Ternyata dugaannya benar.

Keheningan lalu menyelimuti mereka. Reyhan tahu Pak Arif membutuhkan jawaban secepatnya, namun dia tetap butuh meyakinkan hatinya.

"Kamu fikirkan dulu saja, Nak. Saya tidak akan memaksa."

Reyhan menggeleng. "Saya bisa memberikan jawaban sekarang, Pak."Dia memberikan senyumnya kepada pria yang banyak berjasa dalam hidupnya itu. " Saya akan menikahi Queen dan menjaganya untuk Bapak."

Pak Arif tersenyum lega. "Terima kasih, Nak. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikanmu."Mata tua itu lalu tertutup. Reyhan pun ikut menutup matanya dan berdoa semoga keputusannya ini benar.

Setela membuka mata, Rehan fikir sebaiknya dia keluar agar bosnya itu bisa istirahat. Namun baru akan melangkah, namanya sudah dipanggil lagi.

"Panggil Queen, Nak. Saya ingin kalian menikah secepatnya."

TIN!

Mata Reyhan mengerjap saat mendengar klakson dari mobil belakangnya. Tersadar bahwa lampu lalu lintas sudah hijau, dia segera menginjak gas.

"Minggir! Kalau banyak fikiran, gue aja yang bawa mobil."

Reyhan menoleh ke wanita yang sedang menatap kesal di sampingnya. "Nggak usah. Saya aja."

Matanya lalu kembali ke depan. Lalu lintas tidak terlalu padat karena saat ini jam 2, bukan jam makan siang maupun jam pulang kantor.

Saat pandangan Reyhan terjatuh pada sepasang muda-mudi bermotor di depannya, hatinya terasa nyeri. Fikirannya melayang pada masa-masa kuliahnya dulu. Masa-masa terindah di hidupnya saat gadis yang dicintainya berada di sisinya. Gadis itu berjilbab, menjaga jarak dan tidak berpegangan pada supir, persis seperti gadis yang sedang berboncengan motor di depannya.

"Reyhan!"

Reyhan tersentak, lalu menoleh pada Queen.

"Berhenti deh! Lo pikir kita bisa selamat sampe tujuan kalo lo terus melamun?!."

Ya Tuhan. Apa dari tadi Queen memanggilnya, namun dia tidak sadar?

"Maaf. Saya nggak akan melamun lagi."

Queen berdecak kesal, lalu membuang muka.

Nafas berat lolos dari hidungnya. Seandainya gadis itu tidak pergi, mungkin yang Reyhan dapatkan saat ini adalah senyuman dan kalimat perhatian dari penghuni kursi di sampingnya, bukan malah bentakan.

-TBC-


BEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang