Kedatangan

127 9 3
                                    

Sore silih berganti menjadi malam. Kapal yang membawa ratusan penumpang ini sudah sekitar dua jam berada di atas perairan dengan gelombang yang cukup tinggi.

Aku menghela napas kasar. Bosan. "Mbak mau beli dagangan saya nggak?" Tawar seorang pedagang yang menghampiriku.

Aku menatapnya, pakaiannya cukup bersih namun ada beberapa bagian yang terlihat lusuh. Wajahnya penuh dengan keringat yang bercucuran. Terlihat sesekali ia berusaha menyekanya. "Silakan dipilih, Mbak. Lumayan untuk ngilangin haus."

"Yang ini berapaan, Pak?" tanyaku sembari menunjuk salah satu minuman dingin.

"Hanya lima ribu, Mbak," ujar sang pedagang.

Aku memilih dua jenis minuman dan beberapa makanan ringan, kusodorkan pada pedagang itu. "Berapa totalnya, Pak?"

"Lima belas ribu, Mbak" katanya sembari memberi belanjaanku.

Kuberikan selembar uang dua puluh ribuan saat pedagang itu merapikan kembali dagangannya. "Ini Pak uangnya."

Pedagang itu mendongak. "Lagi lima ribu, seben-"

Aku menolak halus. "Sudah, ambil saja. Anggap saja saya sedekah," balasku dengan senyuman sekilas.

"Wah ... terima kasih ya, Mbak. Semoga Mbak selamat sampai tujuan," ucap pedagang, mendoakan.

Aku mengangguk. "Terima kasih."

Aku bangkit dari ruang tunggu penumpang kapal. Kakiku melangkah ke arah luar, mencari udara segar.

Helaian rambut hitamku kuletakkan di belakang telinga. Angin malam membawa helaian rambut ini hingga menghalangi pandanganku.

Berdiri di sini mengingatkanku pada film Titanic.

"Mbak, sebentar lagi kapal ini siap menepi. Silakan kembali ke tempat menunggu. Jangan sampai ada barang-barang yang tertinggal," ujar petugas mengingatkanku.

Tak butuh waktu lama. Kini aku sudah berada di pelabuhan. Segera aku menaiki taxi yang sudah berada di pinggir pelabuhan.

"Silakan masuk, Mbak. Mbak-nya ini mau diantar ke mana?" tanya supir taxi tersebut.

"Perumahan Kenanga blok A nomor sembilan ya, Pak."

Taxi kemudian melaju setelah kuberitahu alamat tujuanku. Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Sesekali melirik ke kanan dan ke kiri. Lampu-lampu taman kota terlihat sangat indah. Warna-warni. Mengingatkanku pada waktu silam.

Ah pengalaman itu.

"Sudah sampai," kata supir taxi memecah lamunanku.

Kuberikan sejumlah uang sesuai dengan apa yang tertera pada argo taxi tersebut.

Supir itu menerima uang yang kuberikan lalu mengatakan, "Terima kasih."
.
.
.
Kehidupan SMA-ku sudah menanti. Masa di mana yang katanya jauh lebih menyenangkan ketimbang masa SD ataupun SMP.

"Dila?" sapa sesorang dari arah belakang.

"Iy-"

"Gue kangen lo, La...," ujarnya sembari memelukku dari arah belakang.

Aku tersenyum sekilas, "Baru ditinggal sebentar udah kangen? Liburan dua minggu di Jakarta itu cepat Del rasanya." Ku hela napas lemah.

"Dila Sukma Riani, gue sahabat lo dari SMP. Tiga tahun kita kemana-mana bareng dan dua minggu tanpa lo itu hampa, La." Bantah Delia.

"Ekhem, nggak usah drama deh lo," ujarku.

"Serah deh, yang penting lo satu sekolah sama gue di SMA."

Aku hanya berdehem. Delia bergegas menuju kamar tidurku di lantai atas. Aku hanya diam di balkon. Berkali-kali angin menerpa helaian rambutku.

"La, ngapain lo malam-malam gini di sini? Mau nunggu si doi?" tanya Delia mengganggu posisi nyamanku ini.

"Doi darimananya? Gue pernah deket sama cowok aja nggak."

"By the way, gue mau kenalin lo ke cowok. Cowoknya ini sih gue tau dari kakak sepupu gue."

"Hah? Lo sekarang jadi jasa penemu jodoh?" Aku mentapnya tak percaya.

"Bukan gitu, La. Gue cuma mau di masa SMA ini lo bisa ngerasain punya pacar. Ya paling nggak punya temen deket lawan jenis lah," ujar Delia menggodaku.

"Palingan juga semua cowok sifatnya sama. Nggak ada yang pas untuk gue," balasku sembari mengetukkan jari jemariku.

"Tapi yang ini beda La. Pokonya lo wajib kenalan sama dia. Besok hari pertama SMA kan?"

"Sama aja, Del." Aku mengelak.

"Dia itu homuris. Kalau lo sama dia, gue jamin lo pasti ngakak terus. Kata kakak sepupu gue, dia paling jago stand up comedy. Udah gitu, cewek-cewek juga banyak yang suka sama dia. Tapi dianya malah sok nggak peduli gitu sama fans-nya."

Delia mulai lagi menceritakan topik yang tak kusuka. Cowok. Ya, aku malas saat mendengar satu kata itu. Mungkin untuk delapan dari sepuluh wanita, cowok itu segalanya bagi mereka. Tapi untuk aku? No.

"Cukup Del, gue lagi capek. Jangan ganggu gue dulu deh. Udah malam, mending lo pulang."

"Niat gue sih tadi mau pulang, tapi intinya besok lo harus mau gue kenalin ke cowok itu. Dijamin lo nggak akan nyesel sama tawaran gue ini," kata Delia setelah kami sampai di depan gerbang rumahku.

Sesampainya di kamar aku berusaha mengabaikan kata-kata Delia tadi, namun sayang. Sosok itu seolah mulai tergambar di pikiranku.

_____________
18 November 2015
Briggita

Sepenggal RasaWhere stories live. Discover now