"Iya, Kak. Tadi tidur jam enam, niatnya mau bangun jam tujuh biar langsung ke kantor. Malah keterusan sampai jam satu."

Aku terkekeh menatap Gisel. Di antara tim kami—Arseila, Arkian, Theo, dan aku—Gisel adalah yang termuda. Baru lulus kuliah enam bulan yang lalu. Dan tidak heran kalau semangat kerjanya masih meluap-luap.

"Butuh kopi?" tawarku sambil mengedikkan dagu kea rah coffee machine di pantry ini.

"Minum kopi malah bikin ngantuk." Gisel mengangkat cangkir tehnya. "Aku duluan, Kak. Mau laporan progress dulu ke Bu Arseila."

Aku mengangguk, membiarkan Gisel dan harum jasmine tea-nya meninggalkan pantry. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Kemungkinan Gisel bisa menemukan Arseila di tempatnya tidaklah besar. Biasanya, Arseila melewatkan jam makan siang dan menggantinya di jam tiga sampai empat sore.

Delivery dari restoran langganannya yang berjarak 100 meter dari gedung ini. Lalu ia keluar dari ruangannya hanya untuk membuat secangkir kopi di pantry dan kembali mengurung diri di ruangannya sampai, minimal, jam sembilan malam. Kalau ada presentasi, setelah makan siang ia akan keluar dan tidak kembali lagi ke kantor.

Kenapa aku begitu hafal jadwalnya?

Jangankan jadwalnya, warna manik mata kanannya yang berbeda dengan yang kirinya saja aku sudah hafal di pertemuanku yang ketiga.




Semua itu berawal di sebuah malam, di mana DragonFly ramai seperti biasanya.

Club itu tidak pernah sepi, apalagi jika DJ malam itu adalah Ferro—lulusan hukum yang beralih profesi jadi DJ. Katanya, menjadi notaris minim bertemu dengan perempuan cantik.

Aku sendiri bukanlah orang yang suka pergi ke club seperti Ferro. Aku lebih suka berada di ruang kerjaku, duduk dengan komputer yang menyala dan jari yang mengetik dengan lincah hingga programku bebas dari bug.

Seperti biasa, ketika Ferro sedang beraksi, aku menunggu di bar dengan Anton si barista andal yang menyodorkan minuman gratis. Sambil menyesap Chivas-ku, aku menahan tawa melihat Ferro yang sedang kesenangan karena dikelilingi gadis-gadis.

Yeah, tabiatnya sejak SMA tidak berubah juga ternyata.

"Kahlua Cream seperti biasa, Arseila?"

Pertanyaan Anton diiringi dengan satu sosok yang baru saja duduk di bar stool, di sebelahku. Aku mengalihkan pandanganku, menatap perempuan yang duduk membelakangiku. Suaranya tetap dapat kudengar walaupun musik upbeat yang dimainkan Ferro rasanya hampir memecahkan gendang telinga.

"Martini Bianco, Anton. Kamu tahu kan kalau aku nggak pernah suka untuk bertahan pada satu minuman saja?"

Anton tertawa. Ia segera menyiapkan minuman untuk perempuan di sampingku ini. "As you wish, Lady. Ternyata seleramu terhadap minuman itu sama seperti seleramu terhadap laki-laki, ya?"

Perempuan itu hanya mengibaskan tangannya di udara. "Kamu terlalu sering mengamatiku, Anton."

Setelahnya, aku terlalu fokus pada perempuan yang duduk membelakangiku ini. Rambutnya yang panjang menutupi punggungnya yang terbuka. Gaun yang ia pakai ternyata backless, sehingga menampilkan punggungnya yang mulus tepat di depan wajahku.

Aku tak lagi memperhatikan Ferro. Sambil menyesap Chivas keduaku, aku mengamati bagaimana perempuan ini berinteraksi dengan Anton dan terus menerus menambah minumannya.

Apa dia kuat minum?
"Sepertinya tugasku menemanimu sudah selesai, Arseila. Kekasihmu sudah datang," kata Anton sambil menyerahkan segelas lagi Martini untuk perempuan ini.

Tepat setelah ia menerima gelasnya, ia berganti posisi. Dari yang tadinya membelakangiku yang sekarang duduk menyamping, jadi berhadapan denganku. Saat lampu DragonFly yang remang-remang menyorot ke arahnya, aku bisa melihat warna manik matanya yang berbeda. Yang sebelah kanan berwarna cokelat tua, mungkin hitam. Yang sebelah kirinya berwarna cokelat muda. Cerah sekali.

Aku baru bisa memastikan bahwa warnanya cokelat tua—bukan hitam—saat pertemuanku yang keempat kali dengannya.

"Hai, Baby."

Seorang laki-laki dengan setelan kerja yang masih melekat segera memeluk perempuan itu dengan erat. Bahkan setelahnya mereka berciuman dengan panas, dengan tangan laki-laki itu yang sudah menjelajah entah ke mana.

"Naksir perempuan yang tadi?" tanya Anton seraya menyerahkan gelas Chivas-ku yang kelima. Tepat saat perempuan di sebelahku tadi sudah pergi dengan lelakinya entah ke mana.

"Kenapa kau bilang begitu?"

"Kau menatapnya seakan ingin mengajaknya ke kamar." Anton terkekeh sendiri karena leluconnya. "Kalau kau mau jadi salah satu pria yang mendapatkan kesempatan untuk kencan dengannya, kau sudah kupastikan tidak lolos seleksi, Kawan. Kau kurang 'tua' untuknya."




"Pindah ruang kerja, Haidar?"

Pertanyaan itu membuat lamunanku tentang Arseila buyar. Sekarang, sosok yang tadi aku bayangkan sudah berdiri di depanku dengan tatapan datarnya seperti biasa.

"Mau kopi?"

Aku tahu pertanyaanku sama sekali tidak ada korelasi dengan pertanyaannya.

"Hari ini saya nggak minum kopi."

"Apa kamu memang nggak bisa tahan hanya dengan satu macam, Ars?"

Lipatan di kening Arseila bertambah seiring waktu ia memikirkan kata-kataku. "Sepertinya kamu butuh lebih banyak kopi, Haidar. Omonganmu sejak tadi selalu melantur."

Setelah mendapatkan sisa jasmine tea Gisel di poci teh tadi, Arseila langsung keluar dari pantry.

Aku menyesap kopiku yang mulai mendingin. Mungkin dulu Arseila tak sedingin ini. Mungkin dulu Arseila adalah perempuan yang hangat dan menyenangkan—seperti yang kulihat di DragonFly waktu itu.

Hanya saja, seseorang telah membiarkan Arseila sendiri terlalu lama hingga hatinya mendingin seperti saat ini.

Iya, kan?

***

Terima kasih untuk dukungannya. Akhirnya, bisa posting juga BAB 1-nya. Semoga kalian menikmati perjalanan Haidar dan Arseila yang baru saja mau dimulai ini.

BTW, kalian bisa follow akun twitter-ku: missaulialim :)



So Over YouWhere stories live. Discover now