Bab 3. Harapan Cadangan

13.2K 1K 68
                                    

"Namanya siapa? Udah cari tahu siapa orang tuanya? Sekelas sama kamu? Anaknya gak bandel, 'kan? Mama gak suka ngelihat dasi dan kemejanya yang selalu gak rapi itu. Udah berapa kali kamu diantar-jemput sama dia?"

Pertanyaan beruntun dari mama membuatku memijit kepala yang tiba-tiba berdenyut. Aku baru saja sampai rumah dengan Ara yang mengantarku.

Hampir sebulan. Awalnya Ara hanya mengantarku kurang dari tiga kali dalam seminggu. Namun, dua minggu belakangan ini, Ara tak pernah absen. Dia selalu muncul di depan gerbang rumah—tentu saja dengan penampilan yang jauh dari kesan rapi sehingga mama terkadang akan menutup pintu rumah saat mendengar klakson motornya—pagi-pagi sekali. Mau bagaimana lagi? Aku tidak punya pilihan selain menerima ajakan Ara. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, kurang dari lima menit, dia sudah berada di depan pintu kelas.

"Adhisti, mama lagi omong sama kamu!"

Aku mengerjap dan mengambil napas dalam-dalam kemudian duduk di teras. Mama melipat tangannya di samping pintu, menunggu penjelasanku.

"Itu teman Adhis, Ma. Kami gak sekelas. Dia anak IPA. Anaknya baik," kataku, sambil melepas sepatu dan meletakkannya di samping pintu. Melihat mama yang belum mengubah posisinya, tandanya aku harus melanjutkan obrolan mengenai Ara ini. "Dia cuman nganter-jemput Adhis tanpa niat apa-apa. Adhis juga gak kenal siapa orang tuanya. Kami gak sedekat itu buat cerita-cerita masalah pribadi."

Mama mendengkus. "Yakin kamu, dia gak minta apa-apa dari kamu?"

Alisku mengernyit memikirkan pertanyaan mama. "Sejauh ini, Adhis yakin. Ara gak pernah macem-macem ke Adhis. Kami juga gak pernah ngelakuin hal lain, selain antar-jemput. Bahkan di sekolah kami kayak gak saling kenal."

"Justru itu! Aneh kalau dia gak berharap apa-apa dari kamu. Hati-hati. Mama juga gak suka lihat penampilan dia yang berantakan itu."

Aku hanya mengangguk, tak ingin membantah mama yang akan berujung pada kekalahanku. Mama adalah pemenang di rumah ini. Apa pun pendapat dan keinginannya harus diutamakan, meskipun itu harus mengambil kebahagiaanku sendiri.

"Adhis janji bakal jaga diri," kataku sepelan mungkin dan menatap mama. Aku sudah berdiri di depan mama untuk bersiap masuk ke dalam rumah. "Tapi mama juga harus janji, gak ada acara pindah-pindah lagi sampai Adhis lulus. Adhis capek, Ma, kalau harus nyesuaiin diri di lingkungan baru lagi."

Mama mengedikkan bahunya dan menyingkir untuk mempersilakan aku masuk. Kami tidak mengobrol selama sisa hari itu. Seperti biasa, aku menghabiskan hari di dalam kamar untuk mengerjakan tugas atau menyelesaikan bacaan novelku. Interaksiku dengan mama sangat minim di rumah, mengingat kesibukan mama di kantor. Saat hari libur pun kami jarang mengobrol, kecuali sarapan, makan siang, makan malam, atau pada saat mama sedang menunggu kedatanganku seperti siang tadi untuk ditanyai macam-macam.

Meskipun mama terlihat menyebalkan di mata orang lain, aku tetap mencintai mamaku sepenuh hati. Dia tidak akan menjadi dia yang sekarang kalau saja hidupku tak dibebankan kepadanya. Mamaku menjadi pekerja keras karena harus membiayai sekolahku dan keperluan hidup kami yang lainnya. Jadi aku tidak bisa membencinya.

Saat aku sedang mencoret-coret catatan Sejarah, ponsel di sampingku berdering dan menampilkan nama Ara di layar. Lelaki itu sangat jarang meneleponku.

"Halo, ya?"

"Saya ganggu kamu?" Suara seraknya lagi-lagi membuat jantungku melompat liar.

Aku menekan dadaku dan mengatur napas sebelum menjawab, "Gak. Aku udah selesai." Kulirik catatan Sejarahku yang masih menunggu satu soal untuk diselesaikan.

DETAK [Space of Heart]Where stories live. Discover now