Bab 1. Jejak Masa Lalu

Start from the beginning
                                    

Pasti ekspresi terkejutku sangat lucu. Aku melihat sudut bibirnya yang sedikit terangkat. Dengan perasaan malu, aku menerima jaketnya. "Ma-makasih."

Dia hanya mengangguk, sebelum memasukkan tangan ke dalam saku celana. Kantong itu masih tergeletak di samping kakinya.

Aku kembali menghadap jalanan dan berpura-pura tak peduli ketika mendengar langkahnya yang mengambil tempat tepat di sampingku.

"Dijemput?"

Aku menggeleng. "Lagi nunggu angkot." Aku menatap sepatu putihku kemudian mencuri lirik ke arahnya. "Kamu dijemput?" tanyaku, sekadar berbasa-basi.

"Nope."

Tanpa sengaja, mataku melihat sebatang rokok yang menyembul dari saku kemejanya. Alisku mengernyit. Dia merokok di lingkungan sekolah?

Dia merogoh sesuatu di dalam kantong belanjaan, lalu menunjukkan beberapa permen yang berada di atas telapak tangan. "Mau? Ambil aja kalau mau."

Aku menggeleng dan berkata pelan, "Makasih," lalu mengalihkan pandanganku ke arah lain agar dia tak lagi mengajakku mengobrol. Aku harus menjaga jarak darinya. Berteman dengan perokok dan pelanggar aturan adalah hal terakhir yang kuinginkan. Lagi pula mama pasti akan langsung mencarikan sekolah lain kalau tahu aku bergaul dengan orang seperti itu. Aku sudah cukup menanggung tak nyamannya beradaptasi dengan lingkungan baru.

Dia sepertinya paham dengan gestur tubuhku yang agak menjaga jarak. Tak ada yang mengisi obrolan lagi di antara kami. Hanya deras nyanyian air langitlah yang diam-diam menyamarkan sesuatu yang menggeliat tak nyaman dalam diriku.

Setelah belasan menit berlalu, hujan lebat telah berganti gerimis. Orang-orang mulai beranjak pergi, ada yang memilih berjalan menembus rintik hujan dan tak sedikit yang dijemput dengan kendaraan pribadi, hanya tersisa aku dan tiga orang lainnya—termasuk si pemilik jaket—yang bertahan di halte.

"Saya antar kamu pulang. Rumah kamu di mana?"

Hah? Gak. Aku gak mungkin mau!

"Saya titip ini." Dia langsung memberi kantong belanjanya yang tadi dan menatapku dengan tampang serius. "Jangan ke mana-mana."

Tanpa meminta kesediaanku, laki-laki itu berlari kecil menembus gerimis. Tubuhnya menghilang di balik tembok yang mengarah parkiran sekolah. Tak lama kemudian, motor merah yang terlihat 'gagah' bak raksasa dengan merek Kawasaki Ninja yang menempel di badan motor, berhenti tepat di depanku. Kaca helm dibuka dan aku melihat iris cokelat-karamel itu menatapku tanpa berkedip.

"Ayo, naik!" Suaranya sedikit dibesarkan, melawan bunyi berisik dari knalpot motor.

Dia serius? Aku menatap horor motor raksasa di depanku.

Laki-laki itu menggelengkan kepalanya saat aku masih menatapnya dengan sorot tak yakin. Setelah menghentikan bunyi berisik motornya, dia turun dari sana. Helm yang ia kenakan dilepas, membuat rambutnya mencuat.

Sial, kenapa aku merasa sesuatu berdesir dalam hatiku? Ingat, Adhisti, dia bukan orang yang bakal kamu ajak berteman.

"Kamu beruntung saya bawa dua helm hari ini." Dia menyerahkan helm berwarna hitam kepadaku. "Saya gak perlu ajarin kamu pakai helm, 'kan?"

DETAK [Space of Heart]Where stories live. Discover now