Bab 1. Jejak Masa Lalu

28.1K 1.2K 77
                                    

Jakarta. Desember, 2006.

Langit menumpahkan rintik dukanya hari ini. Awan mengarak kelabu, seolah memeluk duka sang langit. Tanganku terangkat, merasakan tetes demi tetes air yang jatuh lalu menghilang dalam sekejap. Aku tak sendirian di sini. Orang-orang juga sedang melarikan diri dari amukan hujan yang kian deras, dan sepertinya halte menjadi pilihan yang paling aman saat ini.

Menjelang sore, tetapi hujan masih betah menambah frekuensi derasnya, membuat seragam putih abu-abu yang kukenakan telah basah di beberapa bagian dan mempertontonkan siluet pakaian lapis yang kupakai. Aku menghela napas panjang kemudian mundur selangkah untuk berdiam diri, sembari menghitung waktu yang harus kuhabiskan di tempat asing ini.

Baru seminggu. Sebenarnya aku tidak perlu merasa gugup dan sendirian lagi. Ini sudah ketiga kalinya aku pindah sekolah karena harus mengikuti mama. Namun, bagaimanapun, aku tidak pernah terbiasa dengan lingkungan baru. Menyesuaikan diri itu jauh lebih sulit. Aku merasa kecil di hadapan wajah-wajah asing yang seperti memperhatikan dan menilaiku dari kaca mata mereka.

Setelah mungkin hampir sepuluh menit sibuk memandangi sepatu dan memikirkan cara untuk menghubungi mama, pandanganku menyapu sekitar. Sayangnya gerakan itu sedikit membuatku pusing, mungkin karena kepala yang tertunduk sedari tadi. Hanya ada aku dan segelintir orang saja yang berteduh. Beberapa dari mereka memakai seragam putih abu-abu dan satu-dua orang yang berpakaian semi-formal. Andai ponselku tak kehilangan nyawanya dua jam yang lalu, aku pasti sudah berhasil menghubungi mama dan memintanya untuk menjemputku. Ini salahku juga, terlalu sibuk membaca di perpustakaan sampai lupa waktu.

Hawa dingin yang terasa menggigit kulit, membuatku mengeratkan pelukan pada tas selempang sekolah.

"Dingin?"

Pertanyaan dengan aksen serak dari arah belakang itu membuatku berjengit. Badanku reflek berbalik dan menemukan lelaki dengan postur yang menjulang beberapa senti lebih tinggi dariku. Rambut hitamnya menjuntai di atas alisnya yang tebal. Apa yang menarik dari lelaki di hadapanku ini—selain netranya yang berwarna cokelat-karamel—adalah bintik hitam kecil tepat di samping mata kanannya. Mungkin bintik itu tidak akan terlihat jika dia tersenyum. Mataku beralih pada seragamnya yang dibalut dengan jaket merah. Seragam itu senada dengan milikku. Dia menenteng kantong belanjaan dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri dimasukkan dalam saku celana.

"Dingin?" Laki-laki itu mengulang pertanyaannya dan menunjuk tanganku yang memeluk tas dengan kedikan dagu. "Kamu bisa pakai jaket saya."

Dia meletakkan kantong tadi di sebelah kaki kemudian melepas jaketnya. Aku belum menemukan suaraku saat melihat uluran jaket merah itu tepat di depan wajah. Bantinku dicengkram kebingungan, antara menerima jaket itu dan langsung merasakan kehangatan yang dibutuhkan tubuhku saat ini atau menolak tawarannya yang menggiurkan?

Tentu saja aku harus menolaknya. Mama selalu mewanti-wanti agar aku tak langsung percaya dan justru berhati-hati kepada orang asing yang terlihat baik. Setiap kebaikan, pasti didasari motif tertentu. Aku menggeleng dan memberi lelaki itu senyum terima kasih. Namun, lima detik kemudian gigiku justru bergeletuk kedinginan. Aku tidak bisa menahan keinginan untuk mendekap diriku lebih erat.

Tanpa memperhatikan sopan-santun, lelaki itu menengadahkan telapak tanganku dan menyerahkan jaketnya. Dia mendengkus. "Seragam kamu basah, dan saya bisa lihat itu," katanya saat menunjuk bagian bahuku yang mengekspos warna kulit di balik seragam. "Tenang aja, jaketnya bersih. Saya jamin."

DETAK [Space of Heart]Where stories live. Discover now