[1]

1.7K 77 1
                                    

"Katanya itu orangnya!" Seorang gadis mengarahkan dagunya pada seseorang yang lewat sementara dua temannya mengikuti yang ia maksud.

Satu gadis di antaranya malah memandang sosok yang dimaksud hingga benar-benar menghilang dari pandangannya.

Misha. Begitulah namanya. Gadis tersebut kembali menatap teman di sebelahnya.

"Siapa yang ngasih tau?" katanya dengan nada tidak percaya.

"Temen." jawab gadis bernama Rena.

"Temen siapa?"

"Akhh...pokoknya ada yang bilang kayak gitu. Bener atau gak aku juga gak tau pasti." Rena merasa terintimidasi oleh pertanyaan menyelidik Misha. Sahabatnya.

"Makanya kalo bergaul milih yang akhlaknya baik. Jangan asal gimana kalo cuma pengen keliatan temenan ama orang keren." sahut gadis yang memilih diam sejak tadi.

Misha tersenyum tipis mendapati sahabatnya yang bijak akhirnya bersuara jua.

"Banyak cewek muda yang udah ketangkep sama orang tadi." Rena kembali bersuara.

Yang lain tidak merespon. Hanya memandang Rena dengan pikiran masing-masing. Keduanya juga memperlihatkan kerut di kening seolah memikirkan sesuatu atau mungkin miris mendengar ungkapan-ungkapan Rena tentang fenomena mucikari muda saat itu.

"Aku no comment deh." ucap Misha sebelum beranjak dari duduknya dan berlalu menuju kelas dimana mata kuliah paginya dilaksanakan.

******

Misha Pov

Semester keempat kuliah. Hari-hariku nyaris hanya dipenuhi tugas. Ada yang ringan sampai begitu berat. Tapi tentu saja aku menikmatinya. Setiap lelah, keluh, kesal, bahkan tangis karenanya pasti akan menjadi kenangan menarik dan berharga tersendiri.

Kebetulan ketika pengenalan serta pemilihan UKM. Hatiku memang sudah terlampau jatuh terhadap hal-hal berbau pers. Karenanya kini aku harus bersanding dengan dua hal sekaligus. Tugas kuliah dan kewajibanku di UKMku saat ini. Secara rutin--tanpa mengganggu aktivitas akademik--komunitasku bergerak mencari informasi masa kini yang tengah hangat-hangatnya atau yang sudah lampau tapi tak kunjung usai dipermasalahkan. Selalu ada hal seru yang terjadi ketika kami turun ke lapangan dan aku sangat menikmatinya.

Tapi hari ini--di antara buletin-buletin yang terkapar berantakan di meja--aku hanya duduk. Melihat satu persatu gambar yang didokumentasikan seniorku di kamera SLR terbaru miliknya.

"Keren, kak." kataku kemudian.

"Siapa dulu dong? Kak Afif gitu."

Aku tersenyum sambil melirik punggungnya yang bergerak-gerak membelakangiku karena merapikan sesuatu.

Tempat ini adalah basecamp bagi anak pers kampus dan sudah seperti rumah sendiri. Seringkali ketika aku masuk, beberapa sudut sudah dipenuhi mahasiswa korban kantuk luar biasa.

"Sha..Misha?"

"Oh, iya kak. Kenapa?"

"Aku lagi mikir sesuatu."

Kedua alisku terangkat tanda tidak mengerti.

"Aku pengen yang terbit minggu depan ada yang bahas mucikari."

"Lah, kan kayaknya itu terlalu di luaran kampus, kak." Kuletakkan kamera Afif di atas meja.

"Gak juga. Lagian gak menutup kemungkinan kasus-kasus kayak gitu ada yang nyangkut di kampus kita."

"Emang ada? Siapa?"

"Ada deh. Kamu gak perlu tau orangnya siapa. Cewek angkatan aku tapi di-DO dia."

"Gara-gara ketahuan?"

"Gak. Gara-gara sering bikin masalah."

Aku mengagguk mengerti. Tidak menyangka bahwa hal tersebut ternyata tidak luput juga dari kampusku.

"Lagian aku greget banget Sha. Banyak yang tau tapi milih biarin ama tutup mulut doang. Kalo ada kejadian lebih parah kan ntar baru mau bahas. Telat iya! Aku cuma pengen nyentil mereka dikit, Sha."

Mendengar ucapan Afif tentu membuatku menyetujuinya. Tapi, sambil menggaruk leher yang tidak gatal, aku merasa aneh sendiri. Seolah hanya ada aku dan Afif di ruangan ini padahal ada banyak juga yang duduk di hadapanku atau di sofa dekat pintu utama.

"Sha?"

"Iya, kak?"

"Tertarik gak ama pikiran aku?" Afif mengangkat sebuah barang menjauhiku.

"Tertarik sih, kak."

"Boleh minta tolong?"

"Tolong apaan?"

"Kalo gitu kamu aja yang urus berita yang satu itu, ya? Bisa?"

"Ha?"

"Kenapa?"

"Kok gak didiskusiin sama yang lain? Kan di sini bukan cuma aku doang, kak?"

"Lah, kan kamu yang keliatan antusias banget," Afif menghentikan kegiatannya lalu mengatur napas sambil menatapku. "Noh, yang lain banyak molor, main hape, gosip. Aku bicara mana denger mereka."

"Tapi kak..." Jujur kuakui ada rasa takut ketika harus berurusan dengan hal berbau seperti itu. Sejak dahulu, aku memang miris dan ngeri tiap kali mendengar berita serupa meski aku sendiri tahu bahwa ada banyak alasan mereka nekat melakukannya.

"Tema yang lain aja deh, kak, ya? Takut soalnya."

"Kalo takut ngapain masuk di sini?"

Kulihat Afif berbalik badan, mulai berkutat pada ponselnya. Sementara aku di belakangnya menghela napas. Tak kuasa menolak apalagi usai mendengar pertanyaan terakhir Afif.

"Sha...lagian beritanya ringan kok. Nyantai aja."

"Trus dokumentasinya? Interviewnya?"

"Kamu juga. Kemaren kan gak dateng pas kita turun lapangan."

Aku terkejut. "Kok gitu sih, kak? Aku mana pernah pergi ke tempat begituan."

"Siapa yang nyuruh ke tempat gituan coba? Tapi terserah mau diapain. Nanti kamu juga bareng yang lain kok. Masalah ini udah sempat dibahas kemaren."

Aku menghela napas. Rasanya menyebalkan. Aku rela diberikan tugas apapun itu asal jangan yang berkaitan dengan hal demikian. Terlalu asing bagiku.

Entah bagaimana nasibku setelah ini.

Thank's God!

******

IndecipherableWhere stories live. Discover now