17 dan Kau Hadir, Merubah Segalanya... [2]

Start from the beginning
                                    

"Dia dateng, Kak. Aku takut," suara serakku muncul di antara isak tangisku.

"Ssstt... gapapa ada Kakak di sini," Kak Adit berbisik pelan. Dia tidak memaksaku untuk berkata-kata. Dia hanya sibuk menenangkanku.

"Pembunuh... Malikha," aku berkata seakan jiwaku ikut berontak. Aku marah dan ketakutan. Perasaanku tak terkendali. Kurasakan Kak Adit mendekapku dengan lebih erat. Dia seakan ikut marah. Dia memang marah. Dia pernah berjanji akan menemukan pria laknat itu.

"Dimana... Siapa dia, Abel? Siapa?" ucapnya menahan amarah. Aku menggeleng keras. Aku tak tahu karena aku tak mau tahu. Cukup dia membunuh Malikha. Tak usah menggangguku atau Kak Adit.

"Kamu—"

"Aku gak tau, Kak. Aku gak mau tau," aku mengucapkannya dengan keras, nyaris berteriak.

"Kakak harus tau siapa dan dimana dia, Bel..." suara Kak Adit melemah.

Aku hanya terisak, hanya mampu terisak.

"Abel..." Kak Adit tidak memaksaku lagi. Dia hanya mengelus kepalaku sampai aku tertidur lagi.

**

"Sayang, bangun... Ayo sarapan, kamu harus minum obat. Kamu demam," Kak Adit mengguncang badanku pelan. Saat membuka mata, rasa pusing menjalar di kepalaku.

"Non, ini dimakan dulu buburnya," Bi Sum membawa semangkuk bubur putih dengan taburan ayam di atasnya. Aku berusaha duduk, Kak Adit membantuku bersandar di tumpukan bantal.

"Non, mau Bibi suapin?" Bi Sum menawarkan untuk menyuapiku. Aku selalu suka disuapi oleh Bi Sum. Jadi aku mengangguk. Aku makan beberapa suapan tapi perutku bergejolak. Perutku menolak masuknya makanan. Aku memuntahkannya. Bi Sum dengan sigap membersihkan muntahanku.

Aku menangis. Kak Adit memelukku erat. Dia menepuk-nepuk punggungku dan membisikkan kata-kata semangat.

"Non, ke rumah sakit aja atuh," Bi Sum ikut khawatir dengan keadaanku.

Sayangnya, aku benci rumah sakit setelah kejadian Malikha memutuskan meninggalkanku tepat di depan mataku. Jadi, aku menggeleng.

"Bi, telfon dokter Pras aja. Tolong ke sini," Kak Adit meminta Bi Sum menelefon dokter Pras, dokter keluargaku.

Saat dokter Pras datang, aku sedang meringkuk dalam selimut tebal. Beliau memeriksaku, aku tidak begitu sadar apa saja yang ia lakukan. Kudengar samar-samar obrolannya dengan Kak Adit. Tak ada satupun yang mampu kutangkap maksudnya.

Lengan kiriku menjadi tempat jarum infus ditusukkan. Aku tak merasakannya. Beberapa ampul suntikkan masuk melalui selang infus.

Kak Adit duduk di sampingku setelah mengantar dokter Pras keluar. Tak lama, aku tertidur.

**

Aku terbangun dan jendela kamarku telah ditutup gorden merah marun. Artinya malam sudah tiba. Kepalaku sudah tak sesakit tadi, tapi badanku masih terasa remuk. Kurasakan Kak Adit tertidur di sampingku. Dia pasti tak beranjak dari sisiku seharian ini. Aku menepuk bahunya.

"Kak..." suaraku kecil sekali.

"Kak Adit..." aku mengulang panggilanku untuk membangunkannya.

"Abel?" dia terduduk seketika setelah sadar.

"Kenapa? Ada yang sakit?" Kak Adit bertanya dengan panik. Aku menggeleng.

"Kakak pindah aja ke kamar Kak Adit. Aku sendirian juga gak papa," ucapku padanya. Dia tersenyum dan menggeleng. Sebenarnya aku senang dia berada di sisiku, tidur di kasur yang sama denganku. Wangi khasnya menenangkanku. Tapi bagaimana pun juga, kasur sendiri pasti lebih nyaman.

"Kakak di sini aja, nemenin kamu. Kamu mau minum?" Kak Adit mengalihkan topik. Aku mengangguk, berpindah topik juga. Kak Adit bangkit dari tempat tidurku. Dia berdiri di depan buffet yang berdiri di samping tempat tidurku, lalu menuangkan air putih ke dalam gelas.

"Dia dateng ke sekolah aku, kayaknya dia kira aku Malikha," ucapku sambil memperhatikan punggung Kak Adit. Gerakan tangannya terhenti. Perlahan ia menaruh wadah air putih dan membawa gelas berisi air putih kepadaku. Dibantunya aku minum dari gelas itu. Setelah selesai, ia menaruh gelas itu ke tempatnya semula dan duduk di sampingku. Sekarang ia memelukku.

"Maaf. Maaf, Kakak gak ada di situ buat ngelindungin kamu. Maaf," ucapnya pelan. Suaranya seperti kain yang terkoyak. Terdengar pilu. Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak ingin menangis lagi.

"Kamu... gak kenapa-kenapa kan? Dia gak ngapa-ngapain kamu kan?" Kak Adit melepaskan pelukannya dan menatap kedua manik mataku.

"Aku gak papa," aku menenangkan ke khawatirannya. Dia menyuruhku tidur. Aku kembali berbaring di sebelah Kak Adit dan menjadikan lengannya sebagai bantalku. Tapi aku sudah tidur seharian. Aku terjaga, tidak bisa memejamkan mataku.

"Kak... Kakak gak akan ngapa-ngapain cowok itu, kan?" tanyaku. Aku khawatir Kak Adit akan melakukan sesuatu yang berbahaya.

"Hmm? Kakak gak tau, Bel. Dia yang menyebabkan Malikha dan kita jadi seperti ini," Kak Adit tidak bisa berjanji.

"Kamu... tau dia dari mana?" tanya Kak Adit sambil mengelus kepalaku.

"Aku..." tenggorokanku tercekat.

"Hmm?" Kak Adit masih menunggu jawabanku.

"Aku udah tau siapa orangnya dari sebelum kita tau Malikha hamil..." aku merasa berdosa pada Malikha karena telah menceritakannya pada Kak Adit. Aku merasa lebih berdosa lagi pada Kak Adit karena baru menceritakannya sekarang.

Usapan di kepalaku terhenti sejenak. Namun, kembali berjalan tak lama kemudian.

"Jadi, namanya... siapa?" pertanyaan Kak Adit terlalu to the point membuatku terdiam.

"Kalau kamu—"

"Miki, yang aku tau namanya Miki. Cuma itu," ucapku cepat memotong perkataan Kak Adit.

Kak Adit diam, tidak melanjutkan kata-katanya. Sbenarnya aku bisa saja menyebutkan Kolvac's atau memberitahunya bahwa di dalam ponsel Malikha ada foto cowok brengsek itu. Tapi lidahku kelu. Takut Kak Adit berbuat yang macam-macam, yang membahayakannya.

"Yup, sekarang kita lagi PDKT. Gue banyak ngabisin waktu sama dia. Jadi, gue keluar OSIS."

"Iya, gue bohong. Awas aja lo ngadu-ngadu ke Kak Adit. Gue cuma pergi jalan-jalan ke Kolvac's kok."

Aku memejamkan mata, galau. Harus kukatakan atau tidak. Ingatan-ingatan itu terus datang silih berganti. Fakta bahwa Miki telah mengubah Malikha menjadi pembohong menohokku. Keras dan berkali-kali.

Pada akhirnya, aku kalah oleh ketakutanku untuk mengatakannya.


TaeKwonDo Love StoryWhere stories live. Discover now