Bagian 2 : Permainan Hati

4.6K 226 3
                                    


Tania POV

tanganku dengan lincah terus mencoret-coret kertas yang berada di meja kerjaku. Namun, lagi-lagi setelah memperhatikan seksama apa yang ku gambar tersebut, aku merasa tidak puas hingga akhirnya aku meremasnya kesal dan membuangnya ke dalam tong sampah di samping mejaku yang penuh dengan remasan kertas.

Aku benar-benar merasa kesal hari ini, seharusnya aku harus sudah menyelesaikan desain interior untuk pembangunan apartemen yang akan segera dibangun oleh perusahaanku bekerja.

Namun apa yang kudapat? Nihil, pikiranku benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama, benar-benar tak ada ide sama sekali.

Kalau sudah begini, mampuslah sudah hidupku di tangan CEO tua busuk besok iu.

Hingga akhirnya sebuah nada pesan masuk di ponselku membuyarkan semua fikiranku. Dengan enggan, aku mengambil ponselku dan segera membaca pesan yang telah masuk tersebut.

From: Brian

Kenapa belum pulang?

Setelah membacanya aku segera melirik arloji di pergelangan tanganku yang sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Oh my ghost!

Dengan cepat aku segera mengetikan pesan balasan untuk Brian. Alasan klasik.

To Brian:

Aku lembur, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan besok, dan aku belum menyelesaikannya. Mungkin aku tidak akan pulang.

Kemudian segera kupencet tombol send tanpa pikir panjang. Baru saja aku meletakkan ponselku, kini ponselku sudah berdering lagi karena seseorang menelfonku.

Karena merasa terganggu, aku segera mengangkat panggilan tersebut tanpa melihat nama siapa yang menelfonku tengah malam begini, dan entah kenapa aku berfirasat kalau Brian-lah yang menelfonku kali ini.

"Halo! Ada apa sih Brian? Bukannya sudah kukatakan aku lembur?! Jangan menggangguku, tengik!" teriakku sebal di telfon.

"ekhem.. Hei, aku bukan Brian. Maaf mengganggumu," ucap suara di sebrang sana merasa tak enak.

Dengan perasaan terkejut aku menengok ponselku sebentar untuk melihat siapa penelfonku, dan betapa terkejutnya aku saat melihat nama 'Farel' terpampang nyata di layar ponselku.

"Ohh my! Maaf Farel, aku tak bermaksud begitu. Kau tidak mengangguku kok," koreksiku bersalah.

"oh baguslah kalau begitu, aku tidak papa,"  balas Farel lembut tau aku merasa tak enak, aku yakin saat ini ia tersenyum tampan. Oh Tuhan... Kenapa kau tak membuatku jatuh cinta saja pada lelaki ini? Bukannya kepada pria berhati es sialan, Brian.

"-emm apa kau lembur?" lanjut Farel bertanya setelah berdiam beberapa detik.

"Huh! Benar. Aku harus mengerjakan beberapa desain apartemen baru yang masih kurang beberapa bagian," ucapku lemas lalu mendesah berat.

"Mau kutemani? Siapa tau aku bisa membantumu. Lagipula, saat ini aku tengah berada dekat di kantormu."  Brian menawari.

"Tapi Rel, ini sudah malam.. Aku tak mau merepotkanmu," ucapku tak enak.

"Karena ini sudah malam, makanya aku ingin menemanimu. Aku tidak ingin kau sampai kenapa-kenapa," omel Farel dengan gusar. Hal itu perlahan membuatku merasakan panas merambat pipi secara perlahan. Dia khawatir padaku. So sweet.

Eighteen AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang