EXTRA PART

14.3K 1.1K 11
                                    


PERNAHKAH kalian berada dalam situasi yang begitu sulit diterjemahkan? Ketika kebahagiaan, keyakinan, kesedihan, dan kegugupan berkumpul menjadi satu. Ketika kalian tidak tahu harus melakukan apa. Hanya dapat berjalan tak tentu arah dari satu sudut ke sudut lain. Sesekali menggigit resah bibir bawah, atau mengetuk pinggiran tempat tidur kala mulai merasa kelelahan akan aktivitas membosankan itu hingga membuatmu mau tak mau jatuh terduduk.

Itulah yang Janina lakukan dalam lima belas menit terakhir. Tepat setelah penata rias selesai melaksanakan tugasnya, yang pada akhirnya meninggalkan gadis itu sendirian di kamarnya.

Telunjuk perempuan itu kembali melakukan aksinya—mengetuk pinggiran tempat tidur, menimbulkan bunyi di antara sepi yang mulai mencekam dirinya sendiri. Resah itu kembali menyelimuti. Aneh, seingatnya, setahun lalu rasanya tidak seperti ini. Lalu, mengapa dia harus semenderita ini sekarang?

Puas bertanya tanpa kunjung mendapat jawaban, akhirnya Janina memutuskan untuk bangkit, setelah lebih dulu menepuk pelan paha kanannya. Gadis itu kemudian melangkah menuju cermin besar yang tergantung tak jauh dari pintu kamar mandi. Sekali lagi, dia mendapati seorang perempuan dalam balutan kebaya modern. Seseorang yang kurang lebih tujuh belas menit lalu selalu didapati balas memandangnya. Seseorang yang tak lain tak bukan adalah dirinya sendiri. Janina Yusuf.

Tenanglah, Janina...

Kalimat itu diucapkannya berkali-kali, layaknya sebuah mantra. Tak hanya itu, Janina pun merapatkan kedua matanya, berharap apa pun yang dirasakannya saat ini bisa pergi—paling tidak sejenak, sampai kata 'sah' menggema di udara. Sial, tubuhnya kembali meremang saat terbayang akan proses itu. Seingatnya, setahun lalu rasanya tidak semendebarkan sekarang. Apa mungkin ini karena ada campur tangan 'cinta' di dalam keputusan mereka? Berbeda dengan peristiwa setahun lalu, yang hanya dilandasi rasa tak kuasa menolak permintaan Mama dan Bunda.

Ketukan pintu membuat tubuh perempuan itu terkesiap. Sebelum dia sempat mempersilakan siapa pun itu yang hadir di waktu yang kurang tepat, pintu kamarnya sudah mendorong terbuka. Menghadirkan sosok sepupunya dalam balutan kemeja batik lengan panjang dan celana bahan hitam. Jervis Oswald terlihat tampan dengan rambut yang disisir rapi ke belakang. Senyum terukir jelas di wajahnya. Yang anehnya, justru membuat Janina semakin resah.

"Hai, ada apa dengan wajah ini?" Sedikit tergesa-gesa Jervis menghampiri sepupunya—yang telah kembali berbalik menghadap cermin besar. "Gugup?"

Janina mendengus mendengar pertanyaan yang tak seharusnya diajukan pada seorang calon pengantin perempuan. Karena jelas saja jawabannya pasti: iya. Memangnya ada yang tidak gugup menunggu akad nikah?

"Ck, ayolah, Jan, jangan begini. Seingatku, setahun lalu kamu tenang-tenang aja. Apa perlu kuingatkan kalau yang nikahin kamu masih orang yang sama, hm?" pertanyaan Jervis ini langsung mendapat sikutan di perut bagian sebelah kanannya. Tidak cukup kuat, sebenarnya. Hanya saja, laki-laki itu sedang dalam keadaan sangat jail, yang membuatnya pura-pura mengaduh kesakitan.

"Jangan harap aku akan meminta maaf atas itu, Jer." Sayangnya, kali ini Janina tak terpengaruh sedikit pun. Bahkan, ketika dilihatnya dari cermin di hadapannya, Jervis mundur selangkah sembari memegangi perut, dia tetap saja tak membalikkan tubuh. Justru memandangi laki-laki itu melalui cermin—dengan tatapan ibu tiri yang begitu kejam.

"Kamu keterlaluan!" ucap Jervis pelan, seakan tak punya cukup tenaga.

"Aku tau," balasnya, begitu jelas.

Sepersekian detik berlalu, tak ada yang mau mengalah. Jervis masih bertahan pada keusilannya, sementara Janina bertahan pada kekejamannya. Sampai akhirnya, Jervis tak tahan lagi berpura-pura. Dengan segera dia menegakkan tubuh, lalu memeluk sepupunya itu dari belakang.

LOOK WHAT YOU'VE DONEWhere stories live. Discover now