Malam Petaka Drupadi

630 13 0
                                    

DRUPADI terbangun karena jeritan Utari. Semenjak kematian Abimanyu, putri Wirata yang hamil tua itu susah tidur. Begitu juga malam itu, di dalam tenda-tenda kubu Pandawa di lapangan Kurusetra. Drupadi bermimpi buruk sekali. Dalam tidurnya ia melihat seekor kelelawar berkelebat di tengah malam. Ia bisa melihat kelelawar itu dengan jelas. Seperti bukan sembarang kelelawar. Ini kelelawar siluman. Matanya yang merah kekuningan menyorot dengan kejam dalam kegelapan. Mulutnya yang bergigi runcing menetes-neteskan darah, tetesan darahnya membasahi dedaunan di dalam rimba. Ia melihat kelelawar itu dipanah oleh Srikandi, dibabat kelewang Drestajumena, dilempar jala Pancawala, namun kelelawar itu selalu bisa menghindar. Ia melejit sampai ke rembulan, kembali lagi dengan cepat menyambar ketiga ksatria itu tanpa bisa dilawan. Darah menetes dari mulutnya, terbang menembus malam.

Lantas terdengar jeritan Utari.

"Ada apa Utari?"

"Ada orang di dalam tenda."

"Siapa?"

"Entahlah. Gelap sekali. Ia membawa pisau belati yang menetes-neteskan darah."

Tiada rembulan di langit, namun redup cahaya lentera di setiap tenda menyisakan ingatan dalam benak Utari.

Di luar terdengar suara orang mulai ramai. Mereka keluar.

Para Pandawa sedang meninggalkan perkemahan mereka, atas anjuran Kresna melakukan penyucian, dengan mengunjungi tempat-tempat keramat. Demikianlah dikisahkan oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh 1):

...mereka itu telah menuju ke desa-desa untuk secara diam-diam mengunjungi tempat-tempat ziarah dengan berjalan kaki. Mereka itu berhasrat besar untuk dengan sejenak melihat keindahan malam yang memesonakan dan serbaindah dan tenang.

Terutama dewi Kunti yang sangat sedihnya, karena menderita kesusahan yang tidak ada bandingannya. Begitu pula dewi Draupadi, putri raja Drupada, sangat memilukan keadaannya dan tidak tahu apa yang akan menjadi obat kesukarannya. Kedua orang ini berkeluh kesah seolah-olah mereka itu tidak ada di dunia, setelah lima orang anak Pannddawa lima itu terbunuh; mereka sungguh-sungguh susah! Karena tidak tahu apa yang akan dikerjakan, mereka menunjukkan penyesalannya terhadap raja Kreshna yang mengajukan usul kepada orang Pandawa untuk pergi.

"Aduhai, lima orang anak Pandawawa; wahai anak-anak yang tercinta! Sayanglah kamu sekalian telah meninggal. Kamu sekalian belum pernah menikmati rasa suka, tetapi sekonyong-konyong kamu dibinasakan oleh musuh! Pasti tidak akan terjadi, wahai anak-anakku dan tidak akan mengalami kematian, sekalipun diserang oleh musuh yang sejuta jumlahnya, apabila ayah-ayahmu ada di tempat ini dan tidak pergi karena diminta untuk mengadakan ziarah minta bantuan kepada dewa-dewa.

Akhirnya Kresna-lah, anak raja Wasudewa, yang menyebabkan kematianmu sekarang, wahai anak-anakku sekalian. Ikhlaskanlah kematianmu, yang kejam itu, wahai anak-anakku sekalian; dosamu ialah karena kamu tidak menghadap lagi ayah-ayahmu! Pastilah bahwa saya akan ikut mati, supaya dapat mengantarkan ayahku yang juga telah gugur, demikianlah halnya dengan saudara-saudaraku yang juga telah tidak ada; mereka telah memejamkan matanya untuk selama-lamanya. Apa tujuannya, apabila saya tidak merelakan hidup saya ini di dunia?"

Kresna berkata.

"Ingatlah Drupadi, bukan hanya dikau seorang yang menderita. Pandawa juga kehilangan saudaranya, seratus Kurawa dan Resi Bhisma tercinta. Utari yang hamil tua bahkan juga kehilangan suaminya. Tak ada yang menang dalam peperangan. Tak akan pernah ada..."

burung hantu hinggap di puncak tiang

berlayar malam-malam ke Yordania

melihat sukma Aswatama gelandangan

menyandang 3000 tahun beban kutukan, o

Catatan:

1) Pada akhir Kakawin Bharata-Yuddha tertulis : Bukan saya sendirilah yang menyusun ceritera ini; adalah seorang pujangga dari sang raja yang termasyhur di dunia ini yang bernama Mpu Seddah, orang yang tinggi martabatnya. Ialah yang menyusun bagian depan ceritera ini yang indah dan tidak ada bandingannya. Pada waktu sampai ceritera ketika raja Salya menjadi panglima, Mpu Seddah menyuruh saya menyelesaikan cerita ini, karena saya merasa kikuk dan tunarasa. Karena saya merasa sayang tentang ciptaan penyair raja ini yang sangat indah, saya dengan sengaja memberanikan diri untuk melanjutkan akhir ceritera ini yang mengerikan (Wirjosuparto, 1968: 360). Terjemahan lain: Dengan demikian saya tidak sendirian dalam menggubah kisah ini. Seorang yang mematangkan kepandaiannya sebagai abdi sang raja, Mpu Sedah yang tersohor itu, menulis bagian pertama kakawin ini,tanpa ada satu cacad pun yang mengurangi keindahannya. Adegan ketika Salya menjadi panglima tertinggi, mengawali bagian karya yang dibebankan kepadaku dan yang bersifat janggal dan tawar. Sungguh sangat disayangkan, bahwa kemanisan sang penyair istana lalu dilapisi kepahitan (Zoetmulder, 1983: 340-1). Dari dua terjemahan atas teks yang sama, namun bisa tertafsirkan berbeda ini, tetap jelas menunjukkan bahwa penulis bagian yang dikutip, dan kutipan selanjutnya, adalah Mpu Panuluh. Seluruh kutipan dari versi Wirjosuparto.

Cuplikan MahabharataWhere stories live. Discover now