Prolog—Cahaya yang Menentukan
Arkavia tidak pernah benar-benar gelap.
Ketika fajar belum sempat menyentuh ujung-ujung menara kaca dan baja, cahaya merah telah lebih dulu hadir—tipis, nyaris transparan, tetapi tak pernah absen. Ia membentang di langit kota seperti urat nadi raksasa, berdenyut perlahan mengikuti ritme yang tidak pernah diajarkan, tetapi selalu dipatuhi.
Penduduk Arkavia telah hidup cukup lama dengan pemandangan itu hingga tak lagi mempertanyakannya. Anak-anak tumbuh dengan kepala menengadah, belajar membedakan awan biasa dari kilau merah yang hanya muncul pada sudut tertentu cahaya pagi. Para pedagang membuka toko di bawahnya, para pekerja menunggu transportasi sambil sesekali melirik langit, seolah memastikan bahwa denyut itu masih ada—bahwa dunia tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Mereka menyebutnya benang takdir.
Bukan benang dalam arti yang dapat disentuh. Ia tidak bisa dipintal oleh manusia, tidak bisa dililitkan di jari, tidak meninggalkan bekas di kulit. Namun keberadaannya lebih nyata daripada banyak hal lain yang dianggap mutlak. Benang itu menghubungkan dua jiwa yang telah dipilih semesta untuk saling menemukan. Tidak sekarang. Tidak selalu mudah. Namun pada akhirnya—selalu.
Hanya mereka yang telah mencapai usia dewasa yang dapat melihatnya dengan jelas. Saat usia itu tiba, dunia seolah membuka satu lapisan tambahan: di antara gedung, di atas jalanan, melintas di antara manusia yang berlalu-lalang, garis-garis merah akan terlihat, berkilau lembut, mengarah ke suatu tempat yang belum tentu dekat.
Sebagian benang lurus dan tenang. Sebagian lain berkelok, saling menyilang dengan benang orang lain sebelum akhirnya menghilang di kejauhan. Namun tidak ada satu pun yang putus.
Itulah hukum pertama Arkavia.
Takdir tidak bisa dilanggar.
Legenda mengatakan benang-benang itu ditenun jauh sebelum manusia mengenal nama mereka sendiri. Jauh sebelum kota berdiri, sebelum teknologi dan sihir berpadu dalam bentuk yang kini disebut peradaban. Kekuatan yang menenunnya tidak ada yang mengetahuinya, tidak meninggalkan jejak selain hasil tenunannya.
Tidak ada yang bisa memotong benang itu.
Tidak ada yang bisa menolaknya.
Keyakinan itu diajarkan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai penghiburan. Dalam dunia yang berubah cepat, di mana sihir dapat gagal dan mesin dapat rusak, takdir adalah satu-satunya kepastian. Ketika cinta datang terlambat, orang-orang berkata: benangnya memang panjang. Ketika perpisahan terjadi, mereka berkata: itu bukan ujungnya.
Arkavia dibangun di atas penerimaan semacam itu.
Namun di sela-sela keyakinan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, selalu ada cerita yang tidak disampaikan dengan suara lantang.
Legenda yang lebih tua.
Cerita yang hanya dibisikkan ketika malam terlalu sunyi dan cahaya merah di langit tampak lebih pekat dari biasanya. Cerita yang tidak pernah dicatat dalam arsip resmi, tidak dibahas dalam kelas sejarah, dan tidak diucapkan oleh Penjaga Takdir di mimbar publik.
Cerita tentang anomali.
Tentang jiwa yang tidak terikat oleh satu benang.
Tentang dada yang menampung lebih dari satu arah takdir.
Mereka yang mempercayai legenda itu biasanya mengakhirinya dengan gelengan pelan, seolah menertawakan ketakutan mereka sendiri. Dunia telah berdiri terlalu lama untuk runtuh oleh satu penyimpangan, kata mereka. Takdir terlalu kuat untuk goyah oleh satu jiwa.
Namun bahkan kepercayaan yang paling kokoh pun menyimpan retakan halus.
Retakan itu mulai berdenyut pada malam Weaving Night Festival.
Festival itu selalu menjadi puncak tahun di Arkavia. Sejak matahari terbenam, kota berubah wajah. Jalanan dipenuhi lentera bercahaya lembut, melayang tanpa tali, mengikuti arus udara yang telah diatur dengan presisi magis. Musik mengalun dari berbagai sudut—nada-nada kuno yang telah dimainkan selama ratusan tahun, bercampur dengan harmoni modern yang diciptakan instrumen baru.
Di atas segalanya, cahaya merah di langit tampak paling terang pada malam itu.
Benang-benang takdir orang dewasa berkilauan jelas, saling bersilangan membentuk pola rumit yang tak pernah sama setiap tahunnya. Beberapa pasangan berdiri berdampingan, tangan saling menggenggam, mengikuti arah benang mereka dengan senyum yang tidak perlu dijelaskan. Beberapa orang lain memilih berdiri sendiri, menatap garis merah mereka dengan ekspresi yang lebih tenang, seolah masih berdamai dengan jarak yang harus ditempuh.
Doa-doa dipanjatkan.
Bukan untuk mengubah takdir—itu dianggap sia-sia—melainkan untuk diberi kekuatan saat akhirnya menghadapinya.
Di tengah keramaian itu, semesta membuat sebuah penyimpangan kecil.
Atau mungkin, sebuah pilihan yang telah lama ditunda.
Tidak ada kilatan cahaya. Tidak ada suara yang memecah langit. Tidak ada tanda yang dapat ditangkap oleh mata mereka yang terbiasa mencari keajaiban dalam bentuk yang megah.
Hanya satu denyut yang sedikit berbeda dari biasanya.
Di antara ribuan orang yang memenuhi pusat kota Arkavia, seorang gadis berusia lima belas tahun berdiri dengan lentera kecil di tangannya. Cahaya lentera itu memantul lembut di wajahnya, menyoroti garis-garis muda yang belum disentuh kelelahan dunia.
Ia tidak melihat langit seperti kebanyakan orang.
Perhatiannya teralih pada suara tawa di dekatnya, pada aroma makanan festival yang manis dan hangat, pada getaran halus di udara yang membuat malam terasa hidup. Ia menghela napas pelan, meresapi suasana tanpa mengetahui alasan samar di balik rasa sesak yang tiba-tiba muncul di dadanya.
Detak jantungnya tidak berubah cepat.
Namun ada sesuatu yang terasa … berat.
Seolah ada pusat yang perlahan terbentuk di dalam dirinya, menarik garis-garis yang belum terlihat, menyatukan kemungkinan yang seharusnya terpisah.
Tak seorang pun menyadarinya.
Para tetua sibuk memimpin doa. Para musisi tenggelam dalam alunan nada. Cahaya merah di langit terus menari, setia pada perannya sebagai penanda keteraturan dunia.
Gadis itu mengangkat lentera sedikit lebih tinggi, mengikuti gerak orang-orang di sekitarnya.
Ia tidak tahu bahwa dadanya, tepat di dekat jantung, sedang menjadi titik temu sesuatu yang jauh lebih tua daripada Arkavia itu sendiri.
Ia tidak tahu bahwa legenda yang jarang dibicarakan telah menemukan bentuknya.
Dan ia sama sekali tidak tahu bahwa sejak malam itu, takdir tidak lagi berdiri sebagai satu garis lurus.
Namanya Azaleana Arsenia Nawasena.
YOU ARE READING
Red String of Fate
RomanceDi Arkavia, takdir memiliki wajah-yang ditarik oleh benang merah. Di Arkavia, cinta bukan pilihan-itu hukuman atau anugerah. Soulmate mark muncul sebagai janji takdir. Saat dewasa, benang merah pun terlihat, mengikat dua jiwa untuk selamanya. Dan se...
