Masa depan
Beberapa tahun setelah lulus SMA, hidup Jeo sebenarnya baik-baik saja. ia punya istri, punya rencana buka usaha, dan hanya butuh sedikit keberuntungan.
Yang tidak ia butuhkan?
Bertemu lagi dengan Cae.
Sayangnya, dunia tidak peduli.
Pertem...
Cae bersandar di meja kerja yang dipenuhi kain sample dan sketsa jaket, wajahnya menyipit nakal ke arah Jeo yang baru saja pulang wawancara. Dasi Jeo bahkan belum sempat diluruskan, dan lelaki itu sudah terlihat letih seperti baru saja dikejar deadline.
"Jadi lo beneran udah nikah?" Cae bertanya, nada santainya menusuk seperti jarum pentul, bibirnya sedikit terangkat.
Jeo menghela napas berat. "Iya, terus kenapa?"
Cae menepuk-nepuk folder di tangannya, seakan sedang mempertimbangkan hal penting. "Gak kenapa-kenapa, gue cuma mau nawarin posisi aja sih, kebetulan gue pemilik tempat ini."
Jeo memicingkan mata. "Posisi apa lagi? Lowongan kerja aku aja belum jelas lolos atau ngg–"
"Shhht," potong Cae ringan. "Lo mau jadi pacar gue, nggak?"
Jeo terpaku. "Hah, Apa?"
Cae tertawa pelan, bukan karena lucu tapi lebih ke arah menyebalkan. "Santai, Arden... Eh, Jeo. Lo udah punya istri? Ya nggapapa. Gue juga cuma mau jadi selingkuhan lo, simple kan."
Jeo mengusap wajahnya dengan satu tangan, "Cae, aku kesini nyari kerja, bukan cari drama. Lagi pula bukannya kamu punya tiga pacar?"
"Ugh, bener sih, tapi kurang," Cae mencondongkan tubuh lebih dekat ke arah Jeo. "Gue bantu lo dapet kerja, lo bantu gue dapat hiburan."
Dan entah kenapa, Jeo tahu hari ini hidupnya akan semakin rumit.