"Oh! Jadi Mas Alan ke Flores juga? Pantesan dia agak gelap juga kulitnya. Kok Mas Alan nggak bilang kalau pergi nyusul kalian?"
Kupandangi wajah Aliyah dengan saksama, ia sedang balas memandangku, dengan antusias menunggu ceritaku. Sekarang Aliyah terlihat berbeda di mataku, mungkin sejak Rania memberitahuku sesuatu yang terus mengisi pikiranku.
Hari itu aku baru saja menyelesaikan jelajah pulau Flores. Petualangan yang seharusnya lebih seru tanpa Alan, atau justru menjadi romantis tanpa Danial. Karena kenyataannya aku bersama mereka berdua petualanganku menjadi serba tanggung. Aku tidak bisa menerima perhatian Alan yang intim karena Danial pasti curiga tapi aku juga tidak bisa menggila bersama Danial karena Alan tak pernah memberikan kesempatan itu.
"Aku pinjam kamar mandimu untuk bersih-bersih ya," ucap Alan setibanya kami di guest house. Aku sedang duduk di mini bar menanti mocktail buatan Rania, seharian ini katanya ia belajar dengan bartender lokal dan ingin aku mencicipinya.
"Kenapa nggak balik hotel aja?" tanyaku, mendongak pada Alan yang berdiri menjulang di sebelahku.
Tangan Alan berpegangan pada sandaran bangku yang kududuki sehingga jarak kami cukup dekat. "Aku bawa pakaian bersih kok, males bolak-balik aja."
"Oh…" aku melirik cepat Rania yang sibuk di balik meja bar, meski demikian aku tahu ia mendengar percakapan kami, "ya udah, ini kuncinya. Kalau capek istirahat dulu aja nggak apa-apa kok."
Alan mengambil kunci dari tanganku sambil berkata, "minta sabun ya."
"Iya, pakai aja."
Alan berpaling pada Rania, "Ran, mas mau satu ya."
"Siap, Mas!" sahut Rania.
Aku memperhatikan Alan menjauh sampai tak terlihat sebelum berpaling pada Rania. Dengan gayanya ia mendorong segelas minuman cantik ke hadapanku. "Apa nih, Dek?" lalu aku minum melalui sedotan.
Rania menyipitkan matanya seraya berpikir, "em… aku kasih nama Sweet Secret Affair deh."
Aku tersedak, bukan karena rasanya yang lebih ke asam alih-alih manis tapi karena pemberian nama yang spontan oleh Rania. "Maksudnya?"
Rania menopang kedua sikunya di meja, memandangku dengan ekspresi malas. Ia terlihat seperti akan mengatakan sesuatu yang kemudian ia ubah di saat terakhir. "Mbak Nad, tahu nggak? Aliyah pernah nembak Yang Mulia."
'Yang Mulia'...? Apa!? Kedua mataku membulat. "Maksudnya Mas Alan? Aliyah nyatakan cinta ke Mas Alan?"
Rania mengalihkan pandangannya dariku seraya merenung, "Waktu itu…"
Rupanya di hari pertama kami bertemu setelah sepuluh tahun, Aliyah dan Rania berbagi banyak cerita sementara aku menyendiri. Menurut Rania, Aliyah mengaku pernah menyatakan cinta pada Alan ketika ia berumur enam belas tahun. Sudah pasti pernyataan itu ditolak karena Alan melihat Aliyah sebagai adik yang tumbuh besar bersamanya sebagaimana Stella. Bahkan Alan berkata tak akan bisa memandang adik-adik tirinya sebagai wanita meski kami semua tumbuh menjadi wanita yang cantik.
"Wajar sih kalau Aliyah jadi punya perasaan ke dia," Rania berpendapat, "sejak kecil Aliyah mendapat perhatian dari Alan bahkan ketika dia sakit seperti ini pun hanya Alan yang bersedia kelimpungan urusin adik kita-"
"Bukannya aku nggak bersedia-"
"Iya, kita sama-sama nggak bisa dan nggak mampu," sahut Rania, "karena serba terbatas. Aliyah hanya mengenal Alan sebagai satu-satunya pria yang selalu ada. Dia tidak naif, dia tahu Alan tidak sedarah dengannya, rasa suka itu mungkin tidak salah tapi kurang tepat saja."
YOU ARE READING
Kita Ini Apa?
RomanceTakdir mempermainkan Nadira. Ia mengenal Alan sebagai kakak dari rivalnya. Ia juga mengenal Alan sebagai perayu ulung. Setelah Alan mendapatkan hati dan raganya, ia harus mengenal Alan sebagai kakak tirinya. Kini, setelah hidupnya berjalan sesuai re...
