Prolog

35 5 5
                                        

Malam hari ini, malam yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan orang-orang — tapi tidak dengan Jennie

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Malam hari ini, malam yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan orang-orang — tapi tidak dengan Jennie. Sejak saat kehilangan seseorang yang memiliki peran penting di hidupnya, kata istirahat tidak bisa lagi ia rasakan.

Tempat berpulangnya sudah pulang.

Tempat bersandarnya sudah bersandar pada tuhan.

Dunia yang berwarna, kini menjadi suram.

Gadis itu menjadi penakut sekarang. Dahulu ia tak kenal rasa takut, karena selalu ada dokter pribadinya yang mengobatinya di saat terluka. Tapi sekarang berbeda.

Jennie berjalan gusar di pinggir pantai, menatap lurus dengan mata yang menyiratkan kesedihan.

Semakin dekat dengan air, gadis itu semakin memelankan langkahnya.

Sepi.

Hanya ia sendiri yang berada di sini.

Tidak ada siapapun kecuali bulan dan bintang yang memperhatikannya dari atas.

Desiran ombak yang terdengar membuat hatinya rapuh. Air yang bening itu, ternyata mampu menjadi alasan tangisan seseorang.

"JAHAT!!"

"KAU JAHAT!!"

Teriakan itu — teriakan yang penuh amarah.

Tubuhnya bergetar menahan seluruh tangisannya. Ia ambruk tak kuasa menahan rasa lemas yang menjalar.

"Kembalikan bundaku. Kembalikan jasad bundaku..." ujarnya dengan suara lirih.

Takdir yang ia harus telan hidup-hidup, takdir yang harus memaksanya kuat, dan takdir juga yang telah merusak kehidupannya.

Jennie benci takdir, bisakah ia menjalani kehidupannya dengan cara yang ia inginkan? Bisakah?

"Kau monster! Kau mengambil bundaku!" pekiknya.

Salah satu ketakutan terbesar sang anak adalah ditinggal selama-lamanya oleh orangtua. Itu adalah ketakutan yang paling takut, bahkan anak-anak tak sanggup membayangkan keadaan itu.

Tapi Jennie telah mengalami ketakutan itu.

Bundanya telah berpulang kemarin malam, dan malam ini ia pergi ke tempat alasan bundanya berpulang.

Laut.

Karena laut, seorang ibu yang memberi keluarganya makan siang, sudah tak bersamanya pada makan malam.

Malam yang seharusnya kehangatan, malah berujung duka.

"Bunda, jika bunda membawakanku chiken, aku akan memeluk tubuh bunda sepanjang malam!"

"Benarkah?"

"Iyaa."

"Baiklah! Bunda akan membelikanya, setelah itu turuti ucapanmu, oke?"

Jennie bahkan belum sempat memeluk sang bunda, tapi roh wanita itu sudah dipeluk terlebih dahulu oleh tuhan.

Ini tidak adil. Bundanya pergi sebelum dirinya menunaikan ucapannya.

Sekarang di mana tubuh wanita itu? Jennie ingin memeluknya.

"Bunda! Aku di sini!"

"Bunda di mana?!"

"Bunda ayo pulang, di sini dingin!"

Ia terus mengeluarkan ucapannya, walau tak akan ada yang menyahutinya.

Jennie rasa dirinya baik-baik saja, tapi kemudian dia bertanya-tanya.

Mungkin bundanya akan pulang?

Ia memikirkan wanita itu membuka pintu kamarnya di pagi hari, memarahinya karena tidur lagi, dan memberi tahu bahwa sarapan sudah siap.

Jennie berharap bundanya kembali seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Ada momen bahkan saat menangis menjadi menakutkan, jika menunjukkan ketakutan itu — hal buruk itu mungkin benar-benar terjadi. Jika tidak menangis, itu mungkin hanya kekhawatiran sesaat dan tidak akan terjadi apa-apa. Sekarang gadis malang itu sedang menangis sejadi-jadinya di depan monster yang mengerikan.

Baginya, sejak saat itu laut bukanlah sesuatu yang indah. Laut adalah monster yang telah memakan bundanya.

"Kau bahkan memakan tanpa mengeluarkan sisa-sisanya... kau sungguh serakah." Suara yang penuh amarah tadi, seketika berubah menjadi lemah.

Dirinya sudah hancur mengetahui jika sang ibunda tenggelam di lautan, dan lebih hancurnya lagi ketika ia menangis di atas makam yang tidak ada jasadnya.

Menghilang entah di mana. Intinya laut telah menyembunyikan dunianya.

"Kau tidak boleh memisahkan anak ayam dengan induknya, jika kau ingin mengambil induknya, maka ambil juga anaknya. Begitupun aku..."

Dengan sisa-sisa tenaganya, ia berusaha berdiri, melangkah maju melawan desiran ombak yang menghantamnya.

Air itu sudah melewati telapak kakinya.

Tungkainya.

Pahanya.

Perutnya.

Ia berhenti, kepalanya menunduk, melihat separuh tubuhnya yang sudah lenyap dimakan monster bundanya.

Secercah ketakutan sedikit ia rasakan. Ditatapnya lautan itu, lautan yang gelap dan panjang tanpa ujung.

"Aku lebih takut hidup tanpa bunda," racaunya.

Kakinya kembali melangkah tanpa rasa ragu. Malam yang gelap itu - menjadi sanksi seorang gadis yang menyerahkan tubuhnya kepada lautan.

 Malam yang gelap itu - menjadi sanksi seorang gadis yang menyerahkan tubuhnya kepada lautan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

---

Hayyie 👋🏻
Hindari menjadi silent reader yya?
Please vote and komen for me‼️

Note : I'm back dengan story baru hihi. Cerita sebelumnya mungkin akan aku lanjut, tapi entah kapan :D

Where I Lean?Where stories live. Discover now