prolog

877 62 0
                                        

Jakarta, tengah malam. Dari lantai tertinggi sebuah gedung yang hampir seluruh dindingnya berupa kaca, dua siluet wanita berdiri menatap kota. Lampu-lampu jalan, klakson jauh, dan bayangan gedung tinggi seakan menjadi saksi dari keputusan paling berani yang akan mereka ambil malam itu.

Shani, sang pemimpin lapangan yang tegas, dingin, dan terkenal tak pernah takut melawan siapa pun, memegang berkas-berkas tebal berisi identitas enam wanita muda. Di sampingnya, Gracia, Wakil Ketua, menatap data itu dengan tatapan penuh beban.
Keduanya tahu: Jakarta sudah terlalu tenggelam dalam kriminalitas. Sindikat gelap yang maju lebih cepat dari aparat, jaringan perdagangan ilegal yang menjalar sampai pejabat tinggi, serta kejahatan lintas digital yang tak terdeteksi radar biasa.

Mereka butuh tim.
Tapi bukan tim biasa.
Tim yang dibangun bukan dengan kekuatan, tapi dengan luka. Dengan masa lalu yang membentuk kegigihan. Dengan kemampuan yang tak bisa diajarkan oleh akademi mana pun.

Dan malam itu, rencana mereka dimulai.

---

Eli — 25 Tahun. Sang Senyap yang Mematikan.

Shani membuka berkas pertama. Foto seorang perempuan dengan tatapan dingin namun penuh luka.
Eli.
Peringkat tertinggi bela diri di berbagai akademi yang ia masuki selama bertahun-tahun. Rekam jejaknya dipenuhi catatan catatan kecil: “Menghilang dari kompetisi tanpa alasan”, “Menghindari sorotan”, “Tidak suka bekerja dalam kelompok”.
Tapi Gracia tahu kebenaran yang tak tertulis:
Eli pernah kehilangan seseorang,yaitu adik kandungnya—kehilangan yang membuatnya mempelajari cara bertarung seolah nyawanya sendiri bukan prioritas.

“Dia adalah tangan kanan yang kubutuhkan,” kata Shani lirih.
“Tapi dia tidak percaya siapa pun.”
“Biarkan aku yang bicara dengannya,” jawab Gracia.
Nada suaranya jelas… ia pernah melihat luka yang sama.

---

Muthe — 21 Tahun. Sang Seribu Wajah.

Berkas kedua dibuka.
Muthe, wanita muda dengan kemampuan penyamaran nyaris supernatural. Mantan aktris panggung yang hilang bertahun-tahun dari dunia hiburan setelah skandal besar menghancurkan kariernya.
Tapi di balik itu, ia membangun bakat lain: kemampuan membaca karakter manusia, memanipulasi emosi, mengubah gerak tubuh, intonasi, bahkan gaya hidup.
“Gadis ini bisa masuk ke istana negara tanpa kartu identitas,” kata Gracia, separuh kagum.
“Tapi dia rapuh,” jawab Shani. “Hatinya terlalu mudah percaya—dan terlalu mudah kecewa.”
Tapi mungkin justru itu yang menjadikannya berbahaya.

---

Jessi — 20 Tahun. Pembaca Jiwa.

Berkas ketiga memperlihatkan seorang wanita dengan wajah yang tampak lembut namun membaca sesuatu dalam dirimu tanpa kamu sadari.
Jessi.
Dahulu mahasiswa psikologi kriminal termuda di universitasnya, sampai suatu kasus yang ia bantu ungkap membuatnya menanggung trauma berat.
“Dia bisa membaca siapa pun… termasuk kita,” ucap Gracia.
Shani menghela napas. “Itulah yang kita butuhkan. Seseorang yang bisa menahan kebenaran meski pahit.”

Tapi catatan terakhir di berkas itu membuat keduanya terdiam:
“Rentan terhadap manipulasi emosional. Sangat protektif terhadap teman.”
Bagi Shani dan Gracia, itu bukan kelemahan. Itu sifat yang dibutuhkan untuk memimpin enam kepala yang berbeda.

---

Olla — 20 Tahun. Pengendali Jalanan Jakarta.

Shani membuka berkas keempat dengan senyum samar.
Olla, pengemudi ilegal jalanan Jakarta yang sempat viral lalu menghilang dari radar.
Kecepatan, insting belokan ekstrem, dan kemampuan menembus padatnya lalu lintas Jakarta—kemampuan itu bukan sekadar bakat, tapi pengalihan rasa sakit dari masa lalu.
“Aku sudah mengamatinya setahun,” kata Shani. “Anak ini tidak takut mati.”
Gracia menjawab, “Justru itu yang kubenci. Kita butuh orang yang ingin hidup.”
Tapi mereka sama-sama tahu… kadang yang paling berbahaya adalah mereka yang tidak peduli pada dirinya sendiri, tapi peduli pada misinya.

---

Christy — 19 Tahun. Mata Jarak Jauh.

Foto kelima memperlihatkan gadis termuda, bermata tajam bagai pemangsa.
Christy.
Sniper muda yang menghancurkan rekor latihan yang bahkan militer sulit capai. Namun di usia 17, Christy terlibat dalam insiden yang membuatnya tidak diizinkan lagi memegang senjata secara legal.
Di sinilah Shani dan Gracia masuk.
“Kau yakin dia stabil?” tanya Gracia.
Shani terdiam beberapa detik.
“Tidak.”
“Tapi dia tidak pernah gagal.”

Untuk misi yang mengincar sindikat pemusnah masa depan… kegagalan bukan pilihan.

---

Freya — 19 Tahun. Sang Hantu Digital.

Berkas terakhir. Paling tebal. Paling berbahaya.
Freya, hacker yang pernah mengguncang sistem keamanan tiga perusahaan besar hanya untuk membuktikan bahwa firewall mereka “terlalu mudah ditembus”.
Ia tidak bekerja untuk uang.
Ia bekerja untuk kebenaran versinya sendiri.
“Kita bisa mengendalikan semua risiko… kecuali dia,” bisik Gracia.
Shani tersenyum tipis. “Tidak perlu mengendalikannya. Cukup buat dia percaya bahwa apa yang kita lakukan benar.”

Dan saat itu, keduanya tahu—jika Freya bergabung, tidak ada sistem di negara ini yang aman dari tim baru mereka.

---

Keputusan Malam Itu

Setelah menutup keenam berkas, Shani menatap Gracia.
“Kau yakin kita tidak membuat kesalahan?”
Gracia menahan napas panjang. “Kita tidak lagi punya waktu. Sindikat itu sudah membunuh terlalu banyak orang… termasuk orang yang kau, aku, dan mereka pernah sayangi.”

Keduanya tidak menangis.
Tapi diam yang mereka pertukarkan lebih pedih dari air mata.

“Baik,” kata Shani akhirnya.
“Besok kita mulai.”
“Kita rekrut mereka.”

Lampu kota Jakarta berpendar seakan merestui keputusan itu.
Dalam gelap, sebuah tim baru mulai terbentuk—
enam wanita yang tidak hanya berbakat, tapi terluka…
dan dua pemimpin yang memutuskan mengubah luka itu menjadi kekuatan.

Itu adalah awal dari cerita mereka.
Awal dari perang melawan kejahatan yang tak lagi terlihat.
Awal dari tim rahasia paling berbahaya yang pernah dimiliki Jakarta.

Awal dari tim rahasia paling berbahaya yang pernah dimiliki Jakarta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Shani & Gracia

ENIGMA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang