ada malam itu, bukan hujan yang pertama jatuh.
Ada sesuatu yang lebih berat.
Lebih hidup.
Lebih… salah.
Lampu-lampu kota meredup satu per satu—seperti ada tangan tak terlihat yang memutar saklar dari langit. Suara lalu lintas lenyap tiba-tiba, seolah seluruh dunia menahan napas dalam ketakutan.
Dan di tengah jalan yang mendadak sunyi itu… Chizu berdiri mematung.
Karena di depannya—
ada dirinya sendiri.
Versi dirinya yang memegang… jantungnya.
Jantung itu masih berdetak.
Keras.
Teratur.
Setiap detak membuat udara bergetar seperti gelombang kecil yang menghantam tulang.
Darah hangat menetes dari sela jari Doppelganger-nya.
Tetes demi tetes jatuh ke aspal.
Tik.
Suara kecil itu terdengar terlalu jelas di malam yang terlalu sunyi.
Seharusnya ia berlari.
Atau menjerit.
Atau jatuh pingsan.
Tapi sesuatu lebih dulu menghantamnya.
Bau itu.
Bau obat luka.
Manis, tajam…
Aroma yang dulu menempel di kulit ibunya pada malam terakhir sebelum semuanya hilang.
Jangan matikan lampunya, Ma…
Kalimat itu muncul begitu saja, menggema di kepalanya dengan suara kecil yang hampir tidak ia kenali sebagai dirinya sendiri.
Doppelganger itu tersenyum tipis, dan suaranya—
suara Chizu, tapi lebih bersih, lebih mulus—keluar pelan.
“Kau sudah lupa, ya?”
Chizu mundur.
Tapi bayangannya lebih cepat.
Jari-jari dingin itu menyentuh dadanya—tepat di titik memar yang pernah ia lupakan, memar yang bahkan seharusnya sudah hilang.
Dunia tersentak.
Udara mengental.
Napasnya sendiri seperti tercuri.
Kemudian cahaya biru itu muncul.
Retakan halus di udara terbuka… dan cahaya biru menyembur keluar, bergetar, dingin, dan familiar dengan cara yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Itu cahaya yang sama seperti lampu ruangan perawatan yang dulu selalu membuatnya ingin menutup mata lebih rapat.
“Chizu…”
Hanya satu kata, tapi suaranya…
Nyaris seperti ibunya.
Void memang selalu tahu cara menghaluskan ingatan.
Membuatnya lebih manis.
Lebih lembut.
Lebih mematikan daripada kenyataan.
Tasnya terjatuh dari tangan.
Jarinya gemetar tak terkendali.
Dunianya menyempit menjadi cahaya biru itu—dan sosok yang perlahan muncul di baliknya.
Sepasang mata perak.
Mengawasinya.
Tenang.
Lembut.
Sabar.
Sabar seperti seseorang yang sudah terlalu lama menunggu kepulangannya.
Gelap merayap dari tepi dunia.
Semuanya tertelan hitam.
Dan dari dalam celah biru itu, suara lain berbisik:
“Selamat datang kembali ke Void, Chizu.
Kau tidak perlu lari lagi.”
Pada malam itu, Chizu memahami satu fakta yang terlalu sederhana dan terlalu brutal:
Apa pun yang mengambil ibunya…
kini datang untuk mengambilnya juga.
YOU ARE READING
ECHO OF THE VOID
FantasyDi kota modern yang diselimuti hujan abadi, Chizu hidup dalam kesunyian-hingga suatu malam, ia melihat bayangan dirinya berdiri di tengah jalan, menatap balik dari retakan cahaya di udara. Sejak itu, dunia mulai berubah. Cermin berbisik, bayangan me...
