Empat - Radita

17 5 4
                                        

Keyword : Gerimis ☔ 

***

"Ukhti, kenapa gak ikut reuni kemarin?" tanya Dona—adik kelas yang usianya 5 tahun tepaut denganku.

Ketika aku duduk di kelas 3 SMA, Dona baru saja masuk dan menjadi siswa kelas 1 SMP. Aku baru tahu sekitar sebulan yang lalu, kalau Dona ternyata adik kelasku. Padahal kamu sudah satu tahun lebih berada di tempat kerja yang sama. Itupun bukan aku yang memberitahu, tetapi rekan kerjaku yang lain yang memberi Dona informasi tentangku.

"Astahii, (aku malu) ah. Makanya aku gak ikut," jawabku jujur.

"Ih, limadza? Kan ma'ii, (Kenapa? Kan sama aku)," jawab Dona—si gadis periang yang sering sekali mengajakku bercanda dan mengingatkanku tentang masa-masa sekolah dulu.

"Laa uriid (Gak mau) ah, anaa masygul (Aku sibuk)," kataku sambil tertawa.

"Dihh, masygul, apa? Kan acaranya weekend, ukhti?" Dona sepertinya masih saja penasaran dengan alasan ketidakhadiranku di acara reuni sekolah.

"Sibuk rebahan dong. Weekend tuh jatahnya istirahat, gak bisa diganggu gugat."

Hal yang tidak kalau lucu, Dona sering sekali mengajakku berbicara dengan bahasa Arab, padahal aku sudah hampir lupa tentang semua itu. Maklum, sudah lebih dari sewindu aku menjadi alumni.

"Harusnya kamu tuh ikut reuni, Tih, biar bisa ketemu doi. Kan kesempatan tuh nostalgia zaman sekolah," timpal Wina—rekan kerjaku yang sedikit tahu tentang kehidupan pribadiku.

"Gak lah, lagian dia gak di sini. Jauh dianya," jawabku asal.

"Alahh, dia siapa, Ukhti? Ciee ...," ledek Dona sambil menyikut lenganku.

"Rahasia. Huss udah, jangan dibahas, takutnya kamu kenal, terus nanti jadi gosip yang engga-engga." Aku mencoba mengalihkan topik, karena bukan hal yang tidak mungkin info itu akan menyebar jika aku bercerita.

***

Di dalam keluarga besarku, aku adalah satu-satunya perempuan di atas dua puluh lima tahun yang belum menikah. Saudara-saudaraku sibuk sekali menawariku berbagai jenis calon pasangan. Mulai dari yang usianya sebaya, hingga yang lebih tua.

"Kamu cari tipe yang kayak gimana, Ratih? Dikenalin ke sini gak mau, dikenalin yang itu juga gak mau. Atau kamu udah punya pacar ya?" tanya Bi Mimin—adik ibuku.

"Aku belum nikah merugikan keluarga ya, Bi? Kok heboh banget, Ibu, bapak, ditambah sepupu-sepupu, hampir tiap hari, yang dibahasnya jodoh terus," jawabku santai, saat keluargaku sedang kumpul-kumpul di teras rumah hari Minggu pagi.

"Kami khawatir, Neng. Kamu takutnya terlalu sibuk kerja, sampai lupa cari pasangan. Umur kamu tahun depan udah 29 kan?"

"Aku belum ketemu yang cocok aja. Makanya sampai hari ini belum nikah, Bi. Lagian nikah itu persiapannya banyak, Bi, gak cukup modal cinta aja. Mental, finansial harus siap. Supaya buku nikahnya gak dikembalikan ke pengadilan agama, tapi dipakai untuk daftar haji ke kementrian agama." Aku tertawa, lalu segera meninggalkan teras, dan kembali ke rumah.

Terkadang memang ada rasa ingin sekali seperti orang lain, menikah dan membina keluarga. Tapi entah kenapa, setiap diperkenalkan atau aku berkenalan dengan orang baru, rasanya tidak sreg. Selalu ada sisi di dalam diriku yang menolak dan membuat pengandaian.

"Kenapa orang ini tidak seperti Dipta? Seandainya Dipta yang datang ke hidupku."

Dipta alamsyah—aku mengenalnya sejak usia 13 tahun, ketika kami sama-sama duduk di kelas 2 SMP. Tapi aku tidak yakin, kalau Dipta pun mengenalku sejak saat itu. Karena kami bersekolah di sebuah asrama yang memisahkan antara siswa dan siswi.

Ada Cerita Di SiniWhere stories live. Discover now