Mentari pagi masih malu-malu mengintip, tapi aroma sedap sudah menyeruak dari dapur. El, dengan telaten, menyiapkan sarapan sehat untuk Khai. Kali ini, meja makan sudah tertata rapi dengan berbagai makanan berwarna-warni: oatmeal dengan buah beri, smoothie hijau, dan telur rebus.
Khai keluar kamar sambil menguap lebar. Matanya langsung memicing melihat hidangan di meja makan. "El, serius ini sarapan? Kok kayak makanan burung?" protesnya dengan nada malas.
Tanpa basa-basi, El langsung memulai "seminar" dadakannya. "Khai, kamu itu butuh nutrisi! Oatmeal ini seratnya tinggi, buah beri itu antioksidan, smoothie ini..." El terus berceramah tentang pentingnya gizi seimbang, layaknya dokter yang sedang memberikan konsultasi gratis. Padahal, El memang dokter hehe.
Khai mendengarkan dengan setengah hati sambil mengunyah oatmeal dengan wajah tertekuk. Dalam hati, ia sudah berencana mampir beli lontong sayur atau gorengan di jalan nanti.
Seolah bisa membaca pikiran Khai, El tiba-tiba menyodorkan kotak bekal. "Ini bekal buat kamu. Dimakan ya!"
"Bekal apaan lagi, El? Nggak mau ah!" Khai menolak mentah-mentah.
El tersenyum licik. "Oke, gini aja. Kalau kamu bisa makan makanan sehat kayak gini selama tiga hari dalam seminggu, aku turutin satu permintaan kamu. Apa aja!"
Mata Khai langsung berbinar. "Serius? Oke, deal!" Tantangan ini terdengar menarik. Ada hadiahnya pula!
Minggu itu, Khai mati-matian menahan diri untuk tidak jajan sembarangan. Ia makan bekal dari El dengan penuh perjuangan, membayangkan hadiah yang menanti. Dan benar saja, Khai berhasil!
"Oke, El, gue menang! Sekarang, gue mau..." Khai berpikir keras. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. "Gue mau lo temenin ke SMP kita dulu. Gue mau jajan di sana!"
El menghela napas. "Tapi, kan, kamu udah makan makanan sehat selama ini. Masa mau dirusak gitu aja?"
"Ya, namanya juga self reward, El! Udah gitu, gue kan kangen banget sama jajanan abang-abang langganan gue dulu. Plis, ya?" Khai memasang puppy eyes andalannya.
El akhirnya menyerah. "Baiklah. Hanya untuk kali ini saja ya."
Siang itu, mereka berdua sampai di depan SMP mereka dulu. Khai langsung berbinar melihat gerobak-gerobak jajanan berjejer rapi. "Asiiiik! Surga dunia!" serunya sambil berlari menghampiri tukang telor gulung.
El hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Khai yang seperti anak kecil.
Khai benar-benar kalap. Telor gulung, cilok, batagor, semua dibabat habis. Ia juga asyik ngobrol dengan abang-abang jualan yang ternyata masih mengenalinya.
"Wah, Khai! Geus lami teu kadieu (Sudah lama tidak ke sini)!" sapa Abang telor gulung sambil membuatkan pesanan Khai.
Abang itu lalu melirik El yang berdiri di samping Khai dengan wajah datar. "Aa kasep itu saha (Aa ganteng itu siapa)?" tanyanya dalam bahasa Sunda.
Khai langsung gugup. Duh, masa iya gue bilang ini suami gue? Malu banget, dah!
Belum sempat Khai menjawab, El malah nyeletuk dengan santai, "Saya suaminya Khai."
Mata Khai langsung melotot. Ya ampun, El! Kenapa jujur banget, sih?! Pengen ngilang aja rasanya!
Abang telor gulung hanya tersenyum sambil membuatkan pesanannya. Sempat ada rasa canggung untuk beberapa saat.
"Makasih, Bang!"
Telor gulung pesanan Khai akhirnya jadi. Dengan senyum lebar, Khai menerima jajanan itu dan pergi dari kerumunan abang-abang jualan.
"Udah selesai, kan?" tanya El sambil melirik Khai yang asyik mengunyah telor gulung.
"Belum, dong! Kurang afdol kalo nggak makan gorengan," jawab Khai sambil melangkah menuju gerobak gorengan kecil di ujung jalan.
El menghela napas, tapi tetap mengikuti Khai. Ia memperhatikan wajan berisi minyak panas yang mengepulkan asap. Tiba-tiba, sebuah kilasan masa lalu muncul di benaknya.
El merasa de javu dengan minyak panas itu. Ia merinding, seolah ada memori buruk yang kembali menghantuinya. Tanpa sadar, ia meremat kedua pergelangan tangannya. Di tangan kanannya, terlihat jelas bekas luka bakar di tiga jarinya.
"Haha, rasain lo!"
"Makanya jadi orang jangan caper."
"Sakittt. Kalian tega sekali."
Di dalam kepalanya, El seolah mendengar suara tawa anak-anak yang mengejeknya. Tawa itu semakin keras dan menusuk telinganya.
Belum selesai Abang gorengan membuat pesanan Khai, El tiba-tiba berbalik dan pergi begitu saja. Raut wajahnya terlihat rumit, seperti menahan sakit yang teramat sangat.
Khai yang ditinggal El mendadak bingung. "El? Lo kenapa?" serunya dalam hati sambil menatap punggung El yang semakin menjauh.
"Bang, gorengannya jadi, kan?" tanya Khai pada Abang gorengan dengan nada sedikit kesal.
Abang itu mengangguk sambil menyerahkan gorengan yang sudah dibungkus kertas. "Iya, Neng. Ini, lima ribu."
Khai membayar gorengan itu dengan malas. Ia masih bingung dan khawatir dengan sikap El yang tiba-tiba. "Kenapa, sih, tuh anak? Aneh banget," gumamnya sambil berjalan menyusul El.
Sedangkan El yang berjalan lebih dulu di depan Khai mendongak menatap langit yang sedang cerah kala itu. Gerobak itu dengan penjual yang sama membuatnya seolah ditarik kembali ke kejadian tidak mengenakkan. Dimana dia yang menjadi korban bully pada saat SMP, menerima berbagai perlakuan tidak pantas.
Salah satunya adalah kejadian minyak panas itu di wajan penggorengan itu.
***
Sorry pendek, hehe. Semangatin aku yuk biar bisa nulis bab panjang dengan cara vote dan komen sebanyak-banyaknya! Ditunggu yaa
With love,
Chila
YOU ARE READING
We Found Love
Romance"Kami bersatu dalam ikatan suci yang di dalamnya tidak dimulai dengan perasaan cinta. Tetapi kami menemukan cinta itu di perjalanan ikatan kami." *** Niat hati ingin membalas kebaikan Ibu bosnya, Khairana Aulia (30) malah dijodohkan oleh anak bosnya...
