SEQUEL | SENI MERAWAT LUKA
Tidak ada satu pun wanita yang sudi jadi yang kedua, bahkan menggunakan dalih agama pun tidak ada yang sepenuhnya rela. Inginnya jadi yang pertama dan satu-satunya. Tapi apa yang bisa diperbuat jika fakta itu terungkap set...
Setiap orang punya luka dan sakitnya masing-masing, tidak perlu susah payah membandingkan.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Berjalan santai di pagi hari adalah kegiatan langka yang bahkan baru pertama kali mereka jalani. Walau hanya sebatas berkeliling menyusuri komplek, tapi itu bisa memberi warna baru serta angin segar pada hubungan mereka.
"Kamu tanya kenapa aku mau menikahi perempuan asing yang belum pernah aku temui?" ulang Caraka di tengah perjalanan.
Pria itu menolak untuk menjawab secara langsung, dia malah mengajak Harastha untuk sedikit membakar kalori di pagi hari, sembari kembali berbagi cerita untuk lebih mengenal satu sama lain.
Harastha mengangguk cepat.
Mereka jalan berdampingan, tapi masih menyisakan jarak yang lumayan. Tidak terlalu dekat, tidak juga terlalu jauh, cukup di garis aman.
"Lahir dengan gelar 'anak kiyai' itu memiliki tangung jawab moral yang besar, segala tindak-tanduk kita disorot apalagi kalau melakukan kesalahan. Aku capek aku mau terbebas dari semua tuntutan itu, dan menikah sama kamu adalah solusi yang Umma dan Abi tawarkan," katanya sejenak melirik ke arah Harastha.
"Ada masalah di rahim Umma, yang membuat beliau kesulitan untuk menambah keturunan itulah kenapa aku jadi anak tunggal. Umma bersedia dimadu, tapi Abi nggak mau karena merasa nggak cukup sanggup untuk berlaku adil. Itulah kenapa mereka sangat menginginkan keturunan dari aku, mereka butuh penerus karena aku nggak mau nyemplung ke dunia mereka, jadi sebagai gantinya kelak anak akulah yang akan mewarisi pondok pesantren."
Harastha sedikit terkejut. "Kenapa aku yang harus kamu peristri?"
"Aku hanya tahu sekilas, orang tua aku dan orang tua asuh kamu menjalin hubungan baik. Dulu ya saat umur aku tiga tahun, aku sempat dibawa ke makam, tapi aku nggak tahu itu makam siapa. Dua bulan sebelum pernikahan Umma cerita kalau makam yang dulu aku datangi, merupakan makam cucu dari kerabatnya yang nggak lain dan bukan adalah orang tua asuh kamu," ujar Caraka, dia sengaja menjeda untuk melihat reaksi Harastha.
Benar saja perempuan itu cukup terkejut, dengan bola mata melebar, dan alis yang saling bertaut. "Haleeza," batinnya berbisik.
"Di makam itu orang tua asuh kamu menyerahkan seorang bayi untuk aku gendong, dengan bantuan Umma aku bisa menggendongnya. Apa kamu tahu, Tha siapa bayi yang aku gendong dulu?"
Harastha menggeleng lemah.
"Kamu."
Raut keterkejutan tergambar dengan sangat jelas. "Aku? Kamu tahu dari mana?"
"Umma yang ngasih tahu, ternyata kejadian di makam itu diibaratkan seperti transaksi perjodohan di antara kita. Aku tahu baru-baru ini, dulu waktu kecil mana ngerti sih, bingung yang ada juga," adunya berterus terang.