01 - Tombol 'Go Live'

2.1K 99 8
                                        

Cerita ini 100% fiksi, jadi tolong jangan dibawa ke real life!

Selamat Membaca...


Toga wisuda itu terasa asing di bahunya, sebuah jubah kebesaran dari kain hitam yang menandakan sebuah pencapaian sekaligus sebuah akhir yang membingungkan. Sean menatap pantulan dirinya di jendela mobil yang terparkir di halaman universitas. Wajahnya terlihat sama, rambutnya yang sedikit berantakan masih sama, tapi kini ada gelar yang menempel di belakang namanya, terukir resmi di atas kertas berharga: Sean Alexander Natio, S.M. Sarjana Manajemen.

Gelar itu terdengar begitu solid, begitu dewasa, dan begitu... bukan dirinya. Rasanya seperti mengenakan setelan jas yang tiga ukuran terlalu besar.

Di luar, riuh tawa teman-temannya yang sedang berfoto dengan keluarga mereka terdengar seperti musik dari dunia lain, sebuah frekuensi kebahagiaan yang tidak bisa ia tangkap. Mereka merayakan. Tentu saja, mereka berhak. Empat tahun perjuangan begadang mengerjakan tugas, presentasi di depan dosen galak, dan drama revisi skripsi, akhirnya terbayar lunas. Mereka semua tampak begitu bahagia, begitu yakin dengan langkah selanjutnya. Di grup chat angkatan, sudah ramai ucapan selamat untuk Rian yang diterima di perusahaan multinasional, untuk Sarah yang mendapat beasiswa S2 di luar negeri, dan untuk Dito yang akan merintis bisnisnya sendiri.

Lalu ada dirinya. Berdiri di sini, menyandar di mobil Papinya, Dyo, memegang gulungan ijazah yang terasa lebih berat dari tumpukan buku teks mana pun. Di kepalanya, hanya ada satu warna: abu-abu. Sebuah kabut tebal yang menutupi semua jalan di depan.

"Sean! Ayo foto lagi sama Tante Rina!" panggil Maminya, Melody, dari kejauhan. Wanita paruh baya itu melambaikan tangan dengan antusias, senyum bangganya tak luntur sedikit pun sejak pagi.

Sean menarik napas dan memaksakan seulas senyum. "Iya, Mi!"

Selama satu jam berikutnya, ia merasa seperti menjadi sebuah boneka. Tersenyum untuk kamera, menerima pelukan dan ucapan selamat, menjawab pertanyaan basa-basi yang sama, yang diulang-ulang seperti kaset rusak.

"Wah, selamat ya, Sean! Ganteng banget pakai toga! Rencana selanjutnya apa nih?" tanya Tante Rina sambil merapikan kerah bajunya.

Sean mengeluarkan jawaban andalannya. "Lagi coba lamar-lamar kerja, Tante. Doain aja, ya."

Sebuah kebohongan yang rapi. Lamaran kerja terakhir yang ia kirim adalah tiga minggu lalu, sebuah formalitas yang ia lakukan karena tatapan penuh harap dari Maminya. Hatinya tidak ada di sana. Hatinya tidak pernah ada di gedung-gedung perkantoran megah, di ruang rapat yang dingin, atau dalam diagram alur manajemen sumber daya manusia.

Hatinya tertinggal di tempat lain. Di sebuah panggung teater kampus yang kecil dan berdebu, tempat ia pernah nekat ikut dalam sebuah pementasan drama satu kali sebagai pemeran pembantu. Debaran adrenalin saat lampu sorot menyorotnya, tawa penonton yang terdengar, dan perasaan menjadi orang lain untuk sesaat, itu adalah perasaan paling hidup yang pernah ia rasakan. Hatinya ada di depan layar laptopnya, saat ia begadang menonton film pemenang penghargaan, mengagumi bagaimana seorang aktor bisa membuat jutaan orang menangis hanya dengan getaran kecil di suaranya.

Hatinya, ironisnya, ada di dunianya Gracia.




***




Malam harinya, rumah terasa ramai. Aroma rendang istimewa buatan Mami Melody untuk syukuran kecil-kecilan memenuhi seluruh penjuru rumah. Keluarga besar berkumpul di ruang tengah, mengobrol dan tertawa. Sean berhasil bertahan di sana selama satu jam, menerima lebih banyak lagi nasihat karier dari para om dan tante, sebelum akhirnya melarikan diri ke satu-satunya tempat di mana ia bisa bernapas: kamarnya.

Unscripted Hearts (Greshan) [END] ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora