Prolog

27 1 0
                                        

"Udah bangun?"

Suara berat menyapa indera pendengarannya. Memecah sunyi yang terasa mencekik. Memaksa pikirannya untuk kembali, setelah berkelana cukup jauh.

Suara siapa?

Dimana ia sekarang?

"Kamu masih hidup," sahut suara itu lagi. Ada kesal yang pekat, dalam kalimat bernada rendah yang terucap.

Setelah sekian lama bungkam, akhirnya, bibirnya kembali terbuka. Perlahan mengeluarkan suara. Begitu lirih, sarat akan kekecewaan. "Kenapa?"

Aku hanya menginginkan ketenangan.

Hanya ingin sesak ini hilang.

Sesulit itukah harapannya hingga semesta tidak kunjung mengiyakan keinginannya?

Decak keras menyentaknya. Mengumpulkan kesadarannya yang semula tercerai-berai. Evita menolehkan kepala. Matanya terbelalak, mendapati sosok jangkung yang begitu familiar. Kilau kembali menghiasi netra hazel-nya yang semula tampak kosong.

Ah, sejak kapan dia ada di sini?

Mengapa ia tampak begitu kesal?

Pertanyaan yang seharusnya ia simpan untuk dirinya sendiri, justru tersuarakan tanpa bisa ditarik kembali.

Dia sudah mendengarnya.

Pria itu bergerak mendekat. Kepalanya menunduk, menatap mata sang lawan bicara. "Aku nggak punya banyak waktu sekarang," tegasnya. "Cepat pulih. Setelah itu, ayo kita bicara dalam situasi yang lebih baik."

Tidak ada balasan.

"Answer me."

Kepalanya bergerak pelan. Memberi anggukan kecil.

"Itu bukan jawaban," ucapnya tidak puas. "Vit?"

"Iya, Jovan."

Evita menyebutkan nama pria itu dengan terpaksa---layaknya seorang anak kecil yang baru saja dimarahi oleh orang tua. Ia memalingkan wajah, enggan menatap pria menyebalkan itu.

"Itu baru Evita yang aku kenal." Jovan terkekeh pelan. Satu tangannya terangkat, mengusap lembut puncak kepala gadis itu. "Aku pulang, ya."

Seruan yang terdengar dari belakangnya, refleks menghentikan gerak Jovan yang sudah memegang knop pintu. "Aku bukan Airin!"

Jovan berdehem untuk menyamarkan tawa. Ia menatap Evita sekilas sebelum benar-benar bergerak keluar ruangan. Walaupun singkat, interaksi mereka barusan sangatlah berharga untuknya.

Ia bisa kembali bernapas lega ketika mendapati mata hazel itu balas menatapnya. Mendengar suaranya, setelah sekian lama hanya disambut oleh keheningan setiap kali datang.

Ya, itu saja sudah cukup.

Setidaknya, untuk sekarang.

***

Catatan Penulis:

Hai 👋

Senang bisa menyapa kalian di kisah yang baru. Kali ini, bersama Jovan dan Evita.

Bagi kalian yang sudah membaca cerita sebelumnya (kisah Felix dan Evelyn), timeline cerita ini terjadi 2 tahun sebelum The Red String of Fate, yaa. Evita masih berusia 23 tahun di cerita ini.

Bagi pembaca baru, selamat datang. Kalian bisa langsung membaca cerita ini tanpa membaca seri sebelumnya (Tapi kalau kalian penasaran, boleh banget mampir ke cerita sebelah. Hehe 😆).

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Mohon dukungannya sampai akhir yaa. Have a nice day 💜

Salam,
Little

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 18 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Don't Break Our Red StringWhere stories live. Discover now