∘˙➶ Bagian IV : Rasa Nyaman

61 7 15
                                        

Emi membawa nampan makan siang ke salah satu bangku panjang dekat dinding kaca yang menampilkan pemandangan taman sekolah. Bangku pojok di mana tak ada seorang pun yang menempati. Tempat ini seolah menjadi bangku pribadi milik Emi. Banyak kejadian tahun lalu--pada semester kedua kelas satu--yang membuatnya cukup dihindari. Dia duduk. Meminum air botol yang dia bawa dari rumah. Lalu mulai makan. Hari ini menu utamanya adalah sup tahu, telur gulung, dan beberapa banchan. Emi makan dengan lahap--lidahnya telah terbiasa dengan makanan Korea Selatan. Tidak peduli dengan keramaian. Ia sudah terbiasa sendiri. Terkadang Jihoon datang menemani jika pria itu tidak sibuk-anak emas sekolah, ataupun jika pria itu sedang ingin makan makanan berat di kantin.

Emi mengigit telur gulung, lalu tersentak ketika mendengar suara nampan ditaruh keras di samping mejanya. Ia mendongak. Menemukan Jonggun sedang menarik kursi di samping. Emi membelalak. Kenapa pria ini duduk di sisinya? Sang gadis melihat sekitar, mencari-cari keberadaan Jihoon karena ia berpikir, jika Jonggun duduk di sini maka Jihoon juga akan datang.

"Jihoon tidak ada. Dia pergi latihan untuk pertandingan basket. Goo juga tidak nafsu makan makanan kantin. Dia pergi ke gedung kelas sepuluh mengganggu makanan Seo Seongun," jelas Jonggun. Dia menatap Emi yang masih terkejut. "Kau selalu sendiri di sini jika tak ada Jihoon. Kau payah dalam bersosialisasi, ya?"

Emi mengerjap. Lalu mengalihkan pandangan. "Sulit bagiku percaya pada orang lain. Pasti kau tahu kejadian yang menimpaku sejak kelas sepuluh, bukan? Aku tak nyaman dengan teman kelas, selain kak Jihoon dan Jungoo." Ia kembali makan.

"... Kau masih diganggu?"

"Hm?" Emi mengunyah, lalu menelan. Ia menggeleng. "Tidak."

"Kudengar dari Jungoo kau berdebat lagi dengan anak-anak di kelas."

"Hanya kesalahpahaman kecil." Emi menatap Jonggun. "Kau harus makan, Jonggun."

Sang pria menatap si gadis dengan lekat. Lalu mulai makan. Sesekali dia melirik Emi. Cara makan yang sopan dan sangat lahap.

Emi menegak air putih hingga habis. Lalu menghela napas. Ia kenyang. Makanan sederhana begini sangat enak dan membuat perutnya nyaman. Ia melirik Jonggun yang selesai makan juga. Lalu melihat ke dinding kaca yang memantulkan bayangannya bersama Jonggun. Ah, dia jadi menyadari sesuatu. "Jonggun, apa tidak masalah kita makan bersama? Kau masih diganggu Kang Bitna, bukan?"

Jonggun melirik Emi. "Aku memang masih diganggu olehnya. Kenapa? Apa kau takut dia mengganggumu karena aku menemanimu makan?"

" ... Bisa beri tahu aku alasan kenapa kau ke sampingku dan tidak ke tempat lain?"

"Karena aku nyaman bersamamu."

Emi mengerjap. "Kenapa? Kita tidak akrab selama ini. Pertemuan kita kemarin dulu juga merupakan kali pertama kita berbincang." Ia menatap Jonggun dengan kepala diisi pertanyaan. Rasa penasarannya pada cara dan sikap Jonggun padanya saja belum terpecahkan, tapi sekarang pria itu terang-terangan mengatakan bahwa dia nyaman bersama sang gadis.

" ... Kau adiknya Jihoon."

Emi menghela napas. "Aku tidak takut diganggu. Aku justru merasa berterima kasih karena kau mau menemaniku di sini, tapi tetap saja. Mantan pacarmu pasti akan mengamuk jika tahu kau menemaniku di sini. Entah untuk alasan apa, dia sangat tidak menyukaiku."

"Dia hanya mantan pacar. Kenapa aku harus memikirkan perasaannya?" Jonggun mengernyit. "Dari awal, aku menjalin hubungan dengan wanita itu bukan karena aku suka padanya, tapi karena kelengahanku."

Kelengahan? batin Emi. "Bukan itu maksudku, Jonggun. Apa kau tidak merasa terganggu dengan sikap Kang Bitna?"

"Tidak. Aku berniat untuk menghentikan sikap menyebalkannya itu." Jonggun bersedekap. "Kau mau ke mana setelah ini?"

" ... Ke ruangan tata boga. Pak Sinu bilang pelajaran berikutnya kosong karena ada rapat guru."

"Harusnya kita dipulangkan cepat saja."

"Biasanya begitu, bukan?" jawab Emi. Tersenyum kecil.

"Baiklah. Ayo ke ruangan itu." Jonggun berdiri. Kemudian mengangkat nampan makanan, membawanya ke tempat nampan-nampan kotor diletakkan.

"Kau juga mau ke sana?" Emi segera mengikuti Jonggun. Tentu sambil membawa nampan. Setelah menaruhnya di tumpukan nampan kotor. Ia dan Jonggun keluar dari kantin. "Aku ke sana mau mencoba membuat kue ...."

"Aku akan mencobanya."

"Kau tidak akan mengataiku kalau tidak enak, kan?" ucap Emi. Dia bercanda.

"Paling aku muntah."

Emi tertawa kecil. Sungguh, sekarang pun dia masih terkejut dengan interaksinya bersama Jonggun. Yang paling mengagetkan adalah dia bisa tertawa kecil. Entah perasaan ini hanya sesaat saja atau tidak. Namun, tak ada salahnya bersikap ramah sebab pria ini adalah salah satu kepercayaan Jihoon. Apalagi mereka satu kelompok kerja tugas. Emi harus menyesuaikan diri. "Rasa apa yang kau suka?"

"Aku bisa mencoba semuanya."

"Cokelat?" usul Emi.

"Oke." Jonggun mengangguk. Ia mengedarkan pandangan. Banyak pasang mata, terutama para gadis, mengarah padanya. Itu hal biasa, tapi sekarang sedikit berbeda. Tatapan mereka yang biasanya mendamba, kini berbarengan dengan kebingungan dan kesinisan. Jonggun tahu alasannya dan dia tidak peduli. Ia melirik sang gadis. Mendapati ekspresi datar terukir di wajah cantik itu. Anak ini peka sekali. Dia langsung sadar lalu memasang 'tembok', batin Jonggun.

"Oh, Kak Jonggun!"

Jonggun menatap ke depan. Mengalihkan mata dari sang gadis. Ia mendapati seorang lelaki berambut hitam berlari ke arahnya sambil melambai ceria. Itulah Park Hyungseok, adik kelas sekaligus adik sepupu sang pria. Jonggun mengangkat satu alis. "Kau baru datang ke sini?" tanyanya dengan nada yang tidak ramah sama sekali.

Emi hanya diam menatap.

Hyungseok mengusap tengkuk. Tertawa. "Aku baru keluar kelas. Soalnya Zin dan Hobin berkelahi lagi."

"Tidak lama lagi bel masuk. Kalian jam kosong atau guru kelasmu tidak ikut rapat?"

"Katanya semua guru rapat," jawab Hyungseok. "Menunya hari ini apa, Kak?"

"Sup tahu," jawab Jonggun.

"Hanya itu?"

"Pergilah ke dalam dan lihat sendiri." Jonggun mengernyit.

Hyungseok mengalihkan pandangan dari Jonggun ke arah seorang gadis berambut pirang terang di sisi sang kakak sepupu. Ia membelalak. Melihat kecantikan langka yang dimiliki gadis itu. "Orang Eropa?"

"Ah, bukan." Emi tersenyum. "Aku orang Asia juga. Yah, memang ada gen luar ...."

"Oh!" Hyungseok tersenyum lebar. "Nama Kakak siapa?"

"Kouno Emi," jawab Emi.

Hyungseok membelalak. "Kouno ... Emi?" Dia langsung melihat ke arah Jonggun dan mendapati sang pria melempar tatapan tajam ke arahnya. Hyungseok mengatup bibir melihat peringatan dari Jonggun. Ia berkata, "Aku Park Hyungseok, Kak. Panggil saja Hyungseok."

"Iya, salam kenal, ya. Panggil Emi juga."

"Oh, iya, Kak Jonggun. Apa nanti aku boleh ke apartemen Kakak?"

"Kau mau latihan atau numpang makan?"

"Dua-duanya, hehe."

Jonggun melangkah duluan. Lalu menepuk pundak Hyungseok. "Datang saja." Ia menoleh ke arah sang gadis. "Ayo, Emi."

"Baik, Kak!" jawab Hyungseok semangat.

Emi mengangguk. Dia tersenyum pada Hyungseok dan berpamitan. Kemudian menyusul Jonggun.

Hyungseok menatap kepergian mereka berdua dalam diam. Ia masih terkejut. Mengetahui fakta tentang sang gadis. "Wah, aku tidak menyangka ...."

🍄🍓🧸🧺🪞

Peran Hyungseok sebagai adek itu penting banget sumpah 😭

Regard,
Ann White Flo

In The Quiet Corners Of MemoryWhere stories live. Discover now