∘˙➶ Bagian II : Tuduhan

80 9 21
                                        

Emi menghela napas. Hari ini pelajaran olahraga. Permainan bulu tangkis. Dia telah mencoba bermain untuk pengambilan nilai dan sekarang sedang istirahat. Ia berada di pinggir lapangan. Menonton para lelaki bermain.

"Hei, apa benar dia?" bisik seorang siswi pada temannya sambil melirik Emi.

"Bukankah dia yang terakhir keluar kelas kemarin?"

Hm? batin Emi. Dia menoleh ke arah para perempuan teman sekelasnya yang berkumpul. Emi menangkap para gadis itu sempat menatapnya lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Sang gadis mengangkat satu alis. Sejak pagi memang suasana kelas agak beda ..., batinnya. Ia kembali menonton permainan bulu tangkis. Kini giliran Jihoon melawan Jungoo.

"Itu pasti dia. Hanya dia yang terakhir keluar dari kelas kemarin!" bisik teman kelas Emi. Matanya menatap Emi dengan tatapan tajam.

"Wah, padahal dia kaya. Kenapa dia mengambil lipstik milik Hojun?" balas siswi lainnya.

"Hei, itu namanya mencuri," ucap gadis rambut cokelat sambil menahan tawa. Shin Hojun namanya. "Aku tidak menyangka anak teladan seperti dia punya kebiasaan mengambil barang orang lain."

Emi berdiri ketika guru olahraga meminta semua untuk berkumpul. Dia masuk ke barisan paling depan. Berdiri di samping Jihoon. Ia melirik para gadis kelasnya berbisik sambil tertawa. Sekali lagi, tatapan para gadis itu mengarah padanya, lalu ketika Emi melihat ke mereka. Anak-anak itu langsung mengalihkan pandangan. Wajah Emi datar. Lalu menatap guru olahraga.

"Hei, ada apa?" tanya Jihoon. Dia mengelap keringat menggunakan kerah baju. Ujung rambut merahnya yang menutupi kening agak basah.

Emi menatap Jihoon. Dia tersenyum. "Tidak ada."

"Gadis-gadis itu tertawa saat melihatmu. Terjadi sesuatu lagi?" tanya Jihoon dengan khawatir. Mengingat bagaimana sulitnya semester dua kelas sepuluh Emi tahun lalu.

"Aku juga tidak tahu ... ah, gurunya mau bicara." Emi memperhatikan dengan saksama arahan dari guru olahraga. Setelah bicara beberapa menit dan memberi arahan pada para lelaki untuk membereskan area lapangan. Akhirnya, mereka diizinkan bubar.

"Kak, aku kembali ke kelas duluan, ya," ucap Emi. Dia menatap Jihoon.

"Baiklah. Hati-hati dan awasi para gadis itu. Entah kenapa perasaanku tidak enak. Dari tadi pagi suasana kelas berubah karena mereka." Jihoon melirik para gadis kelasnya dengan dingin. Entah apa yang para perempuan itu bahas.

"Ya, tidak terjadi apa-apa." Emi tersenyum. Lalu beranjak pergi. Sebaiknya aku segera ganti baju dan pergi ke kantin, batin Emi. Mengingat tadi pagi dia tak sempat sarapan karena agak lambat bangun tidur. Ia hanya sempat minum susu. Dia melangkah memasuki gedung kelas sebelas. Lalu menaiki tangga. Ia tiba di lantai dua. Masih banyak anak-anak.

"Loh? Kak Emi!"

Emi menoleh. Dia tersenyum saat mendapati adik kelasnya. Mijin. Melangkah ke arahnya. "Halo, Mijin. Kenapa ke sini?" Dia melihat pria yang selalu menempeli sang adik kelas ke mana-mana. "Halo, Zin."

"Ya, halo," balas Zin cuek.

"Ah, aku membawa Zin untuk ketemu senior yang kemarin berkelahi dengannya," jelas Mijin. "Dia harus minta maaf."

"Aku sudah minta maaf dengannya, Mijin." Zin cemberut.

"Dia belum memaafkanmu!" balas Mijin.

"Kelas apa?" tanya Emi. "Perlu kuantar?"

"Ah, tidak usah, Kak. Kami bisa pergi sendiri."

Emi mengangguk. "Sebaiknya kalian cepat, masih ramai di sini. Mereka belum ke kantin semua."

In The Quiet Corners Of MemoryWhere stories live. Discover now