Lalu, sesuatu menarik perhatian Gavin. Tepat di lantai dekat kursi tempat pria tadi duduk, ada benda kecil terselip di bawah kaki kursi, sebuah bungkus kecil plastik bening, renyah, dengan label putih yang belum sempat dilepas dan mencurigakan. Seolah terbuka sedikit, tapi jelas bukan bungkus biasa.

Gavin membungkuk cepat, meraih plastik itu dengan dua jari, lalu menyelipkannya ke dalam saku jaketnya tanpa ekspresi berubah. Hanya matanya yang berkilat dingin, seperti baru menemukan sesuatu yang tak seharusnya ditinggalkan begitu saja.

Pintu bus berbunyi lagi menutup, tapi Gavin sudah ikut melangkah keluar di halte yang sama. Untung, ini memang pemberhentiannya. Ia turun dengan tenang, menatap sekeliling disaat mata masih mencari pria itu yang tadi kabur sambil menurunkan wajah.

Dari halte tempatnya berdiri, Gavin bisa melihat apartemen Joss—atau... harus dia mulai menyebutnya apartemennya sekarang? Pertanyaan itu lewat begitu saja, tanpa jawaban, sama seperti ribuan pertanyaan lain yang ia biarkan mengendap dalam kepalanya.

Ia berjalan santai menyeberangi jalan, tangan kirinya menyelipkan plastik kecil ke dalam saku, lalu mengeluarkannya lagi hanya untuk menatapnya. Bungkus itu ringan, nyaris seolah tak berarti, tapi tatapan Gavin tetap terpaku seakan benda itu bisa menjelaskan sesuatu.

Begitu masuk ke lobby apartemen, langkahnya tetap tenang. Sambil menunggu lift, ia kembali membolak-balikkan plastik yang berisi tiga butir obat mencurigakan itu. Warnanya putih pucat, bentuknya generik, nyaris tak berbeda dari Paracetamol murah yang bisa dibeli di minimarket atau dia dapatkan dari farmasi. Tapi Gavin tahu, justru kesederhanaan tampilan itu yang mencurigakan. Obat dari farmasi tidak akan berbentuk butiran seperti ini.

Begitu pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk, ia mengangkat plastik itu sejajar dengan matanya. Label putih polos menempel di permukaan plastik, tulisannya rapi dengan huruf-huruf kecil standar farmasi seperti tak ada yang mencurigakan dengan cetakan dari sistem rumah sakit—dan rumah sakit itu jelas ia kenali. Salah satu yang berada di bawah naungan CEDORA.

Saat sampai di depan unitnya, Gavin berdiri di ambang pintu, alisnya bertaut tipis, masih memegang plastik kecil transparan itu di antara jemarinya. Langkahnya terhenti beberapa detik ketika melihat pemandangan tak terduga-Lawan duduk santai di ruang tengah dengan hoodie lusuh, sedangkan Joss bangkit dari sofa sambil mengucek mata, rambut acak-acakan persis orang yang baru tidur siang.

"Welcome back," gumam Joss dengan suara serak, separuh menguap

Gavin tidak langsung menjawab. Pandangannya bergeser dari Joss ke Lawan, lalu kembali lagi, sebelum akhirnya menutup pintu di belakangnya. "Since when you let strangers masuk tanpa izin?" suaranya datar, tapi cukup terdengar sinis.

Lawan hanya nyengir, mengangkat tangan seolah menyambut Gavin. "Relax, bro. Gue bukan stranger. Gue kan udah sering nongol."

Joss meraih bantal di sofa dan melemparkannya dengan lesu ke arah Lawan. "He insisted. Gue juga males ngulang-ngulang alasan dia nongkrong di sini."

Gavin meletakkan sepatunya rapi, lalu melangkah masuk sambil tetap menggenggam plastik kecil di tangannya. Dia masih memperhatikan Lawan dengan tatapan penuh kalkulasi, lalu beralih pada Joss. "You look like shit," katanya lirih, setengah seperti komplain, setengah seperti pengamatan.

"Thanks," jawab Joss sambil merentangkan tubuhnya, ekspresinya setengah ketawa. "Udah living together, masih aja disambut kaya gitu."

Lawan, yang sejak tadi mengamati, akhirnya mencondongkan tubuh. "Eh, by the way, lo bawa apaan tuh?" tunjuknya pada plastik kecil di tangan Gavin.

Gavin menoleh sebentar ke Lawan, kemudian mengepalkan tangannya menutupi plastik itu. "None of your business," jawabnya singkat.

Sedangkan disisi lain, pemuda itu melemparkan plastik kecil itu ke arah Joss dengan gerakan santai, seolah tidak terlalu peduli dengan isinya. "Nih. Gue nemu di bus."

Hierarchy: Enigma (JossGawin) - Part 1 EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang