Ia menarik napas panjang, lalu menunduk sedikit. Kepalanya menempel ke tiang, pikirannya berputar dengan konspirasi-konspirasi aneh.

Busway berguncang pelan saat melewati jalanan sore yang mulai padat. Gavin berdiri sambil berpegangan pada tiang, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Namun sudut matanya menangkap sesuatu, pria paruh baya di kursi dekat jendela tampak gelisah. Cara duduknya aneh, condong ke depan sedikit, tapi dengan paha rapat dan satu tangan tak terlihat jelas. Wajahnya seperti orang yang menahan sesuatu, ekspresi yang cukup kentara bagi Gavin, ekspresi seseorang yang sedang diliputi hasrat murahan.

Gavin melirik sebentar, cukup untuk menghubungkan potongan situasi. Di sebelah pria itu, seorang wanita muda duduk dengan kepala menunduk, pura-pura sibuk menggulir layar ponsel. Namun bahunya gemetar halus, dan sesekali ia melirik ke samping, jelas tidak nyaman.

Saat Gavin menurunkan pandangan, ia menangkap kilatan refleksi tipis dari bawah kursi. Ada ponsel yang sengaja diletakkan miring. Tidak ada orang lain yang benar-benar memperhatikan, tapi cukup sekali Gavin menilai sudut letaknya untuk tahu bahwa itu bukan ponsel yang 'jatuh'.

Bus tiba-tiba berguncang lagi. Gavin, dengan wajah santai seolah tak sengaja, menggeser kakinya. Sepatu sneakersnya menyenggol benda itu cukup keras sehingga ponsel itu berputar ke arah lorong, menimbulkan bunyi kecil yang membuat beberapa orang refleks melirik.

Pria paruh baya itu langsung panik, tangannya spontan bergerak ke bawah, tapi kalah cepat. Gavin sudah menunduk lebih dulu dengan wajah malas, pura-pura hendak menolong.

"Oh, ponsel Bapak ya?" ujarnya datar, sambil memungut benda itu dengan dua jari. Layar masih menyala beberapa detik, cukup bagi Gavin melihat aplikasi kamera terbuka. Ada rekaman berjalan.

Gavin berdiri kembali sambil memutar ponsel itu pelan, seolah memeriksa. Matanya setajam belati menatap pria paruh baya itu, sementara ekspresinya tetap datar.

"Oh, pak. Ini ngerekam deh," katanya pelan, cukup keras untuk terdengar oleh penumpang sekitar.

Beberapa kepala langsung menoleh, terutama wanita muda di samping pria itu. Bahunya menegang, lalu ia mendongak dengan tatapan kaget bercampur lega.

Pria paruh baya itu langsung menarik napas kasar, wajahnya memerah. Ia buru-buru merebut ponselnya dari tangan Gavin, suaranya meninggi dengan nada sewot penuh defensif.

"Hei! Jangan asal nuduh ya! Ini ponsel saya, urusan pribadi saya! Memangnya kamu siapa berani-beraninya buka-buka?"

Beberapa penumpang saling berbisik, sementara wanita muda yang duduk di sampingnya makin gelisah. Gavin tetap berdiri tenang, bahunya malas terangkat setengah, tatapannya tak berubah.

Pria itu masih melanjutkan, nada suaranya kian tinggi, seolah ingin balik menyerang. "Kalau saya ngerekam, memangnya kenapa? Salahnya di mana? Ini ruang publik! Jangan sok jadi pahlawan deh, ganggu orang aja kamu!"

Semakin banyak penumpang kini memperhatikan, sebagian wajah mereka memperlihatkan keraguan, sebagian lain mulai tak percaya pada pria itu. Gavin hanya mendengus kecil, matanya tak lepas dari pria tersebut. Secara tak langsung, pria itu sudah mengekspos dirinya sendiri sudah merekam diam-diam dan Gavin hanya menggelengkan kepalanya.

"Bapak itu loh malah ngaku, kan jadi keliatan salah." ujar Gavin santai.

Bus berguncang sekali lagi, dan bel berbunyi tanda pemberhentian berikutnya sudah dekat. Pria paruh baya itu berdiri tergesa-gesa, wajahnya masih merah karena campuran malu dan marah. Saat pintu bus terbuka, ia sempat menabrak Gavin dengan kasar, mendorong bahu dan membuat Gavin tersandung ke kaki penumpang di belakangnya.

"Ah, sorry," Gavin cepat-cepat menoleh pada orang yang hampir terinjak, nada suaranya tulus meski wajahnya menunjukkan emosi konstan. Ia menarik napas, matanya mengikuti gerakan pria itu yang turun terburu-buru, seperti ingin kabur dari tatapan orang-orang.

Hierarchy: Enigma (JossGawin) - Part 1 EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang