"Oke." Joss buru-buru menutup telepon, menatap layar ponselnya dengan wajah... entahlah, mungkin sudah lumayan santai. Bagaimana Gavin berekspresi di seberang membuat semua rasa khawatirnya sirna. Merasa bersalah sudah mengkhawatirkan orang seperti Gavin. Jika Alpha memiliki tingkatan seperti pengkategorian power character, dia pasti ada di tingkat S yang mendekati Enigma, walaupun mendekati dalam artian masih jauh.
Di sisi lain, Gavin menatap layar TV dengan wajah masam. Bar merah 'GAME OVER' berkedip terang, disertai sorakan Nardi yang sengaja dibikin lebay.
Gavin mengangkat tangannya tak percaya dia kalah lagi, "AH ANJIR."
"HAHA! Lu kalah lagi, Gav! Kalah mulu sama gue mah udah nasib," suara Nardi memekakkan telinga.
"Shut the fuck up," gumam Gavin, melempar joysticknya ke karpet sebelum menutup wajah dengan lengan.
Gavin menjatuhkan tubuhnya ke karpet berbulu setelah akhirnya kalah untuk kesembilan kalinya dari dua belas ronde melawan Nardi. Napasnya berat, bukan karena lelah fisik, melainkan lebih pada rasa frustrasi. Tangan kirinya masih terasa pegal akibat terlalu keras menekan joystick, sedangkan kepalanya dipenuhi dengung kesal.
Dia sempat hampir membuka mulut menanyakan hal yang masih terngiang tentang kenapa Joshua tadi menelpon hanya untuk menanyakan kapan ia pulang. Bagi Gavin, itu bukan hal yang biasa. Selama ini, Joss hampir tidak pernah menghubunginya dengan pertanyaan semacam itu.
Kalaupun Joss menghubungi, biasanya karena alasan cuaca buruk atau sekadar memastikan Gavin tidak perlu dijemput, dan itu pun baru sekali terjadi. Tidak pernah lebih.
Gavin memejamkan mata, membiarkan punggungnya tenggelam dalam bulu karpet yang dingin. Ada sedikit suara Nardi yang masih berkoar dari tempatnya, yang membuatnya semakin kesal dan ingin menendang orang itu.
"Cabut lah gue," ucapnya singkat, bangkit tanpa banyak basa-basi.
Nardi yang masih fokus dengan stick di tangannya melirik sekilas. "Hah? Baru segini udah cabut? Lu sakit perut apa gimana?" tanyanya heran.
Gavin mengangkat tasnya asal, lalu menjawab datar tapi aneh, "Kebelet berak."
Kalimat itu membuat Nardi terdiam sejenak, seolah ingin menanggapi, tapi akhirnya ia hanya mengedikkan bahu. "Makin lama ama bang Joshua makin gila ye lu," katanya singkat, kembali fokus ke layar tanpa memedulikan Gavin lagi.
Tanpa banyak suara tambahan, Gavin keluar dari kamar, menutup pintu, dan melangkah pergi dengan langkah lebar, meninggalkan Nardi yang mulai berteriak lagi.
Sampai di pelataran asrama, pemuda itu berjalan sebentar untuk sampai di halte. Kadang menendang kerikil dengan kakinya lalu bernyanyi sendiri. Sembari menyesali keputusannya yang memilih pulang saat jam pulang kerja.
Gavin masuk ke dalam busway yang sudah penuh sesak dengan orang-orang berjas, kemeja lusuh, tas kerja menggantung, dan wajah lelah yang seragam. Bau keringat bercampur parfum murahan menusuk hidungnya, membuatnya sedikit menahan napas. Tangannya berpegangan pada besi penahan, dingin dan licin karena terlalu sering disentuh.
Di bawah cahaya senja yang menembus kaca, siluet tubuhnya ikut terpantul samar di jendela. Seorang wanita dengan cardigan krem duduk tepat di sebelah kaca, tampak sibuk menggulir layar ponselnya, sesekali menyibak rambut panjang yang menutupi wajah. Di sampingnya, seorang pria paruh baya dengan kemeja biru muda sudah setengah terlelap, kepalanya hampir jatuh.
Gavin berdiri di hadapan mereka, matanya tak bisa diam. Ia melirik orang-orang yang berdesakan, mendengar suara dengusan napas, obrolan kecil, dan deru mesin bus yang bergetar di bawah kakinya. Rasanya asing baginya karena jarang naik busway.
ESTÁS LEYENDO
Hierarchy: Enigma (JossGawin) - Part 1 End
FanfictionDi dunia di mana soulmate seharusnya mengikuti aturan alam, Gavin dan Joshua menemukan diri mereka terikat oleh sesuatu yang seharusnya mustahil, dua Alpha dengan satu ikatan. Gavin yang logis dengan pendiriannya dan Joshua yang penuh rahasia harus...
37. Nullis
Comenzar desde el principio
