Varel muncul dari balik lorong, kulitnya kecokelatan, rahang tegas dan tatapan matanya setajam pisau. Ia tidak bergerak mendekat, hanya berdiri dengan satu tangan di saku celana, mengawasi pria yang kini berdiri beberapa meter di depannya.

Pria itu tersenyum tipis, melangkah maju, suaranya datar namun mengandung beban waktu bertahun-tahun.

"Sudah lama tidak berjumpa."

Varel tidak membalas. Matanya tetap terkunci pada pria yang menjadi ayahnya, Brahma Wijaya Pranajaya.

"Kau tidak pernah lagi datang ke rumah," ucap Brahma sambil menatapnya.

Varel terkekeh pendek, nada sinisnya tak berusaha disamarkan. "Rumah? Rumah mana yang anda maksud?"

Brahma menghela napas, wajahnya tidak berubah.

"Listen, kita berpisah karena ada alasan. Saya dan wanita itu ... sejak awal kami tidak pernah cocok. That marriage was just a forced, damn matchmaking. Saya akui ... saya lebih memilih fokus pada perusahaan daripada memikirkan wanita itu."

Perusahaan yang dimaksud Brahma bukanlah perusahaan biasa. Bisnis itu bergerak di ranah barang-barang terlarang, narkotika berbagai jenis: methamphetamine, ganja, hingga tembakau gorila. Bahan mematikan itu diolah, dicampur, lalu dijual hingga menghasilkan keuntungan ratusan triliun. Dan Varel tahu semuanya.

Brahma merogoh saku jasnya, mengeluarkan amplop coklat, lalu menyodorkannya. Varel menerimanya tanpa ragu, membukanya dan matanya segera menyapu barisan huruf di kertas di dalamnya.

"Trash news," gumamnya dingin.

Brahma menatapnya. "Tapi itulah kenyataan, Lius. Kami memilih jalan masing-masing. Saya fokus pada bisnis, sementara wanita-"

"Stop her," potong Varel tajam.

Brahma tersenyum miring. "Tidak ada yang perlu dihentikan. Dia bukan lagi bagian dari keluarga kita. Mau datang ke pernikahannya atau tidak, terserahmu."

"Saya tahu sebelum kami berpisah, wanita itu berselingkuh. Entah dengan pria mana dan hal itu tidak membuat saya terganggu. Because it didn't matter."

Udara di antara keduanya mengeras. Mata mereka saling mengunci, satu penuh perhitungan, satu lagi penuh bara yang nyaris tak terkendali.

Lalu tak lama suara langkah kaki terdengar lirih menuruni anak tangga. Bunyi itu awalnya begitu pelan, hampir tenggelam oleh keheningan yang menekan ruang luas di dalam mansion. Namun semakin lama semakin jelas, ritmenya teratur, menimbulkan denting halus ketika telapak kaki mungil menyentuh marmer dingin. Dan di sanalah sosok seorang gadis muncul dari arah tangga atas.

Leona.

Ia tampak sederhana, namun justru kesederhanaan itu membuatnya begitu menonjol. Balutan kaus oversize berwarna merah muda pucat tergerai longgar menutupi hampir seluruh tubuh mungilnya, menyembunyikan lekuk tubuh yang hanya sesekali tersirat ketika ia melangkah. Bagian bawah kaus itu jatuh melewati pinggul, menyisakan hanya sedikit kulit pucat di sekitar paha yang terekspos karena celana pendek putih yang nyaris tak terlihat. Rambut panjangnya terurai lembut dan terselip jepit berbentuk bunga matahari, aksesoris kecil yang selalu menemani hari-harinya, seakan menjadi ciri khas dari gadis itu.

Leona berjalan ragu, seolah setiap langkah yang ia ayunkan terasa berat, namun ia tetap bergerak turun perlahan. Tatapannya sesekali jatuh pada sosok Varel yang berdiri tegap di bawah, seakan tubuhnya menarik Leona untuk mendekat meski ada keraguan yang membebani.

Varel berdiri kaku, wajahnya nyaris tanpa ekspresi, namun rahangnya mengeras. Satu tangannya tersimpan santai di saku celana, sementara mata tajamnya tidak terlepas dari ayahnya yang masih berdiri menatap. Namun begitu tatapan Brahma beralih, tepat ke arah tangga, ke arah gadis mungil yang kini hampir sampai di ujung anak tangga terakhir, kedua tangan Varel otomatis menggenggam erat.

VARELLEOWhere stories live. Discover now