Chapter 4

597 112 19
                                        

©Claeria


"Makasih ya, Nana udah belain Ian."

"Lain kali Ian jangan diam aja kalau diganggu sama anak nakal!"

"Iya. Nanti gantian ya, aku pasti bakal belain Alana."


***


"Sekali lagi aku minta maaf karena udah ngomong sembarangan ya, Tante," Alana meringis. Ekor matanya melirik sekilas ke Liliek yang duduk di kursi penumpang sebelahnya.

Karena egonya tersenggol oleh sikap Tiffany yang memandangnya sebelah mata, Alana malah membual seolah Brian tidak bisa hidup tanpanya. Nyatanya mereka hampir selalu bertengkar di tiap kesempatan. Barulah setelah berpisah dengan Tiffany dan menyetir pulang, Alana disergap rasa bersalah.

Tangan Liliek mengibas sementara bibirnya tersenyum semringah. "Kamu nggak perlu minta maaf. Tante justru berterima kasih karena kamu udah bantu Tante akting."

"Tapi aku tetap nggak enak karena udah kelewatan ngarangnya," jawab Alana sambil menatap lurus jalan tol.

Meski tidak tahu apa yang terjadi di antara Tiffany dan Brian, Alana tidak ingin memecah belah hubungan orang lain, apalagi karena ocehan ngawurnya.

"Nggak apa-apa. Justru harus begitu biar Tiffany mundur," Liliek bersikeras membela. "Lagian benar kok, Ian waktu kecil kan memang lengket sama kamu."

Alana menggigit bibir bagian dalamnya. Ia memang tidak sepenuhnya berbohong, tapi juga tidak berkata jujur. Tiffany pasti mengamuk. Perempuan mana yang ikhlas pacarnya dekat dengan perempuan lain. Eh, tapi apa benar mereka berpacaran? Lalu siapa cowok necis berambut cepak tadi?

Didorong rasa penasaran, Alana melirik Liliek. "Ngomong-ngomong, Tante, Tiffany itu..." kalimat Alana menggantung.

Liliek melipat tangan di dada dan mengembuskan napas. "Mantannya Ian. Dia udah dijodohin sama cowok lain, tapi masih aja deketin Ian. Nyebelin," Liliek berdecak.

"Dijodohin...?"

Bibir Liliek yang dipulas lipstik merah menyala mengerucut jengkel. "Orang tuanya Tiffany itu belagu, mentang-mentang juragan beras. Mereka nggak restuin Ian dan jodohin Tiffany sama anak pejabat. Kamu lihat kan tadi dia dibelanjain tas? Dasar matre!" cerocos Liliek sewot. Namun, dia buru-buru menutup mulut dengan sebelah tangan dan berdeham. "Ya, intinya Tante nggak suka dia masih dekat sama Ian."

Meski mulutnya gatal ingin bertanya lebih lanjut, Alana memilih tidak berkomentar dan fokus menyetir. Untungnya Liliek mengalihkan pembicaraan dan terus berceloteh sepanjang jalan pulang sehingga suasana tidak canggung.

Mereka tiba di depan rumah Liliek sekitar pukul sepuluh. Lampu rumahnya menyala terang dan mobil Brian terparkir rapi di garasi.

"Makasih ya, Na, udah anterin Tante pulang. Mampir dulu yuk," ajak Liliek sambil melepas sabuk pengaman.

"Nggak usah, Tante. Aku langsung pulang aja. Udah malam," Alana menggeleng sopan.

"Sebentar aja," bujuk Liliek. "Sekalian Tante mau nitip pempek buatan Tante untuk mama kamu. Ayo."

Tidak enak hati menolak, Alana akhirnya ikut turun dan mengekori Liliek. Begitu menginjakkan kaki ke teras, ia melihat Brian bersandar di pintu rumah sambil melipat tangan di dada. Dia mengenakan kaos putih longgar dan celana rumah selutut. Rambutnya setengah basah.

Project: In-LawsWhere stories live. Discover now