Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku benar-benar tidur.
Mungkin seminggu lalu. Mungkin setahun lalu. Atau mungkin aku tak pernah tidur sama sekali - setidaknya, bukan dalam arti yang biasa dimengerti orang. Karena bahkan ketika mataku tertutup, kepalaku tak pernah berhenti berputar seperti roda gigi yang sudah karatan, memuntahkan debu kenangan yang beracun.
Rasanya... seperti terjebak di dalam rumah yang pernah kutinggali, tetapi seluruh pintunya hilang. Aku berjalan dari ruangan ke ruangan, menatap dinding yang sama, lukisan yang sama, retakan yang sama. Kadang aku mencoba menutup mata, berharap ruangan berikutnya akan berbeda, tapi setiap kali kubuka, aku kembali di ruangan itu juga - dengan bau lembap yang menempel di tenggorokan, membuat napas terasa seperti menelan air kotor.
Orang-orang bilang waktu menyembuhkan. Tapi waktu yang kumiliki adalah waktu yang busuk. Waktu di sini tidak bergerak. Jarum jam hanya bergetar di tempatnya, seperti sedang mencoba memutuskan apakah layak untuk melanjutkan hidup atau tidak. Aku tidak ingin mati. Aku hanya tidak ingin berada di sini. Ada perbedaan yang tipis, tapi tajam, seperti silet di bawah lidah.
Kadang aku duduk di tepi ranjang, menatap lantai. Hanya itu. Tidak melakukan apa-apa. Tidak berpikir. Tidak juga merasa. Sekilas orang mungkin akan mengira aku sedang beristirahat, tapi itu bukan istirahat-itu lebih seperti tersedak di udara terbuka. Aku tidak bergerak, tapi tubuhku terasa seperti jatuh dari ketinggian yang tak ada dasarnya.
Entah mengapa, aku mulai sering berbicara sendiri. Bukan untuk mencari jawaban - aku sudah tahu tak ada yang akan menjawab - tapi lebih seperti berusaha membuktikan bahwa aku masih ada.
Suaraku sendiri menjadi satu-satunya bukti keberadaanku. Kadang aku mengucapkan nama-nama yang sudah tak berhubungan denganku. Kadang aku menyebutkan tanggal-tanggal yang tak berarti bagi siapa pun.
"12 Mei."
"Yusuf."
"Ruang 304."
Tidak ada logikanya. Tapi aku terus melakukannya, seolah kata-kata itu adalah jangkar kecil yang mencegahku hanyut sepenuhnya.
Rasa bersalah itu... ah, bagaimana menjelaskannya? Ia seperti bayangan yang tidak mengikuti cahaya, tapi mengikuti kegelapan. Ia tidak menempel di belakangku, tetapi di dalam mataku sendiri. Aku tidak bisa melihat ke luar tanpa melihatnya, dan aku tidak bisa menutup mata tanpa ia menempel di bagian dalam kelopak mataku. Bahkan ketika aku mencoba membayangkan sesuatu yang indah, itu akan segera membusuk di tanganku-bunga yang kutanam di pikiranku akan berubah menjadi abu sebelum sempat mekar.
Ada momen-momen ketika aku hampir lupa. Misalnya ketika aku menuang air ke gelas. Atau ketika aku menyalakan lampu kamar mandi. Sepersekian detik itu - aku seperti orang normal lagi. Tapi lalu, dari sudut kesadaranku, akan muncul sesuatu. Bukan suara, bukan gambar. Hanya... rasa. Rasa seperti ada yang melihatku, meskipun aku sendirian. Rasa itu seperti tangan yang diletakkan di bahuku-ringan, tapi cukup untuk membuatku berhenti bergerak. Dan seketika, aku kembali ke tempat yang sama: dalam ruangan tanpa pintu itu.
Beberapa orang pernah mencoba menolongku. Aku menghargai niat mereka, meski aku tak pernah percaya mereka benar-benar mengerti. Mereka bilang aku harus "memaafkan diriku sendiri." Kata-kata itu terdengar seperti candaan yang buruk. Bagaimana kau bisa memaafkan sesuatu yang bahkan tidak sepenuhnya bisa kau ucapkan? Bagaimana kau bisa mengampuni dosa yang masih berdenyut di tubuhmu, seperti peluru yang belum dicabut?
Kadang aku mencoba membayangkan, bagaimana jika aku menceritakan semuanya? Tapi di kepalaku, setiap versi cerita itu terdengar seperti kebohongan. Bukan karena aku ingin berbohong, tapi karena bahasa itu sendiri terasa tidak cukup untuk menampung apa yang sebenarnya terjadi. Dan lagi, ada bagian dari diriku yang ingin mempertahankan rahasia ini-bukan untuk melindungi diriku, tetapi untuk menghukum diriku.
Aku pernah membaca bahwa manusia punya naluri untuk bertahan hidup. Aku tidak yakin itu berlaku untukku. Aku bukan mencoba mati, tapi aku juga tidak berusaha hidup. Aku berada di ruang antara, dan di ruang itu, waktu membusuk.
Kadang aku membayangkan melepaskan semuanya. Bukan melepaskan nyawaku, tapi... melepaskan pegangan terakhir yang membuatku tetap di sini. Tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi jika aku benar-benar melakukannya. Apakah aku akan jatuh ke tempat yang lebih gelap, atau justru menghilang seperti asap? Dan entah mengapa, kedua kemungkinan itu sama-sama menenangkan.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku akan duduk di kursi ini sampai matahari muncul. Lalu aku akan mendengar suara burung yang terdengar terlalu cerah untuk dunia yang retak ini.
Aku akan menghindari cermin, karena aku tahu pantulan itu akan tersenyum tipis padaku, seperti sedang menunggu aku mengaku. Dan seperti biasa, aku akan tetap diam.
Tapi entah mengapa, ada firasat bahwa kali ini akan berbeda. Seperti ada sesuatu yang akan menyeruak dari balik dinding ruangan tanpa pintu itu. Dan mungkin... mungkin aku akan mengerti kenapa aku masih di sini.
Namun sampai saat itu datang, aku hanya punya satu pekerjaan, menunggu.
Dan menunggu adalah pekerjaan paling melelahkan yang pernah ada.
