Tak banyak tamu hotel di waktu-waktu seperti ini, dan para staf yang pagi itu mengenakan jaket putih tampak sibuk mengobrol dan bercanda satu sama lain sementara musik keras dan murahan terdengar di latar belakang.
"Aku benci musik latar dan benci ocehan mereka," katanya, menunjuk ke arah para pelayan. Ia tanpa ragu berbalik ke salah satu pelayan yang kebetulan cukup dekat dan meminta mereka untuk mengecilkan suara. Si pelayan tampak terkejut dengan permintaan itu, tapi tidak menjawab ataupun meminta maaf; ia hanya mundur ketakutan dan kembali ke tempat dua pelayan lain sedang tertawa terbahak. Seketika mereka semua jadi diam.
"Aku jadi benci hotel ini," kataku, "tapi aku selalu datang ke sini setiap kali di Roma karena balkon yang menyatu dengan kamarku. Di hari-hari hangat, aku suka duduk di bawah payung membaca buku. Malamnya, aku minum bersama teman-teman, entah di balkon itu atau di teras besar lantai atas di atas lantai tiga. Rasanya seperti surga di sana."
Setelah sarapan, kami menyeberangi jembatan dan hendak menuju Aventine, tapi kemudian mengubah rencana dan kembali menyusuri Lungotevere. Masih pagi hari Sabtu, dan Roma sangat sepi.
"Dulu ada bioskop di sini."
"Itu sudah lama tutup."
"Dan dulu ada toko barang antik di sekitar sini. Aku pernah membeli satu set papan backgammon kecil, buatan Suriah, seluruhnya mozaik dari mutiara kerang. Seorang teman meminjamnya, lalu entah merusakkannya atau kehilangan—aku tak pernah melihatnya lagi."
Ia meraih tanganku saat kami berjalan santai dekat Campo de' Fiori. Tak jauh, pedagang ikan sedang menyiapkan lapaknya. Toko anggur belum buka. Rasanya sudah lama sekali sejak kami ke sini untuk membeli ikan.
"Kami akan menghabiskan seminggu di Roma," katanya pada ayahnya ketika pria itu membukakan pintu. Ia telah membeli cukup banyak makanan untuk persediaan tiga minggu.
"Wah, menyenangkan!" kata ayahnya dengan suara bergetar, nyaris tak menyembunyikan kegembiraannya. "Dan apa yang akan kalian lakukan selama seminggu penuh itu?"
"Entahlah. Makan, memotret, berjalan-jalan, bersama."
"Bersantai," tambahku.
Sudah jelas bahwa ayahnya paham kami adalah sepasang kekasih dan tidak terkejut—atau setidaknya pura-pura tidak terkejut. Bisa terlihat dari ekspresinya: Kemarin kalian hanya dua orang asing di kereta, nyaris tidak bersentuhan... dan sekarang kau meniduri putriku. Hebat. Dia memang tak pernah berubah.
"Kalian akan menginap di mana?" tanya ayahnya pada Miranda.
"Bersamanya. Cuma lima menit jalan kaki dari sini, jadi kau akan melihatku lebih sering dari yang kau bayangkan."
"Dan ini kabar buruk?"
"Kabar baik. Tapi, bisa kutitipkan anjingnya padamu?"
"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu?"
"Aku hanya butuh kameraku. Lagipula, aku sudah lelah dengan Timur Jauh. Mungkin aku bisa menjelajahi bagian Roma atau Italia utara dari sudut pandangnya. Kemarin kami ke Villa Albani—aku bahkan belum pernah ke sana sebelumnya."
"Aku juga ingin mengajaknya ke Museum Arkeologi di Napoli. Patung Dirce yang diikat ke banteng oleh dua saudara itu perlu kamera seorang ahli."
"Kapan kita ke Napoli?"
"Kalau kamu mau, besok," kataku.
"Naik kereta lagi. Sempurna." Ia tampak benar-benar gembira.
Saat Miranda meninggalkan ruangan, ayahnya menarikku ke samping.
"Dia tak sekuat yang kamu kira, tahu? Dia impulsif, dan selalu ada badai kecil di kepalanya, tapi dia lebih rapuh daripada porselen paling halus. Tolong perlakukan dia dengan baik, dan bersabarlah."
Tak ada yang bisa kukatakan untuk itu. Aku menatap wajah ayahnya, lalu tersenyum, dan akhirnya meletakkan tanganku di atas tangannya. Itu dimaksudkan sebagai isyarat untuk menenangkannya, memberi kehangatan, diam, dan persahabatan. Aku berharap itu tidak tampak seperti sikap merendahkan.
Makan siang berlangsung tenang, dan terasa seperti kelanjutan dari sarapan. Miranda membuat omelet besar.
"Mau yang seperti apa?" tanyanya pada ayahnya.
"Sederhana saja," jawabnya.
"Mungkin pakai sedikit rempah?"
Dia suka rempah.
"Dan tolong kali ini jangan omelet kering. Gennarina bikin omelet yang mengerikan."
YOU ARE READING
FIND ME
RomanceDalam Find Me, Aciman menunjukkan kepada kita ayah Elio, Samuel, dalam perjalanan dari Florence ke Roma untuk mengunjungi Elio, yang telah menjadi pianis klasik berbakat. Pertemuan tak sengaja di kereta dengan seorang wanita muda cantik mengacaukan...
