Cuaca sudah mulai hangat dan kami makan siang di teras lagi.
"Lalu kenari?" katanya sesudahnya.
"Kenari, tentu saja."
Ia masuk ke dalam, mengambil mangkuk besar berisi kenari lalu masuk ke perpustakaan, menemukan buku yang ia cari, dan berkata bahwa ia akan membaca selama dua puluh menit.
Aku belum pernah membaca Chateaubriand, tapi setelah mendengarnya berkata begitu, aku langsung merasa: inilah yang kuinginkan untuk sisa hidupku. Setiap hari, tepat setelah makan siang, sambil menyesap kopi seperti yang kami lakukan sekarang, jika ia ingin dan tidak sibuk, dua puluh menit prosa pria Prancis agung itu akan cukup melengkapi hariku.
Saat kami selesai minum kopi, ayahnya tidak mengantar kami ke pintu; ia tetap tinggal di teras, duduk di mejanya, dan menatap kami pergi.
"Pasti tak mudah baginya," kataku saat ia menutup pintu di belakangnya.
"Memang sangat berat. Menutup pintu ini selalu menyiksa."
Dalam perjalanan ke Piazza di San Cosimato, dia melihat langit mulai menggelap dan berkata,
"Sepertinya akan hujan. Yuk balik lagi."
Masih terlalu awal untuk kembali ke hotel, jadi kami mampir ke toko perlengkapan rumah besar.
"Ayo beli dua mug yang sama persis, satu dengan inisialmu, satu dengan inisialku," katanya.
Ia bersikeras membeli mug itu—punyaku dengan huruf besar M, miliknya S. Tapi dia belum puas.
"Bagaimana kalau tato? Aku ingin tubuhku punya tanda permanen tentang kamu. Seperti watermark. Aku ingin gambar mercusuar kecil. Kamu?"
Aku berpikir sejenak.
"Buah ara."
"Kalau begitu, tato? Aku tahu tempatnya," katanya.
Aku menatapnya.
Kenapa aku bahkan tidak ragu sedikit pun?
"Di mana di tubuh kita?" tanyaku.
"Di dekat... kamu tahu."
"Kiri atau kanan?"
"Kanan."
"Baik, kanan."
Ia terdiam sejenak.
"Apa ini terlalu cepat buatmu?"
"Aku suka justru karena ini cepat. Akan sakit tidak?"
"Aku tak tahu. Aku belum pernah ditato sebelumnya. Tindik pun belum pernah. Yang kutahu, aku ingin tubuh kita tak pernah sama lagi."
"Kita duduk dan saling menonton saat ditato," kataku. "Lalu ketika aku mati dan bertemu Sang Pencipta, diminta telanjang dan memperlihatkan diriku, lalu Dia melihat tato buah ara di sebelah kanan anunya, menurutmu Dia bakal bilang apa? 'Profesor, ini apa di sebelah bijimu?' 'Tato,' jawabku. 'Tato buah ara, ya?' 'Benar, Tuhan.' 'Dan alasannya mengotori tubuh yang butuh sembilan bulan penuh untuk tercipta ini?' 'Karena gairah, Tuhan.' 'Lalu?' tanya-Nya. 'Aku ingin tanda di tubuhku yang menandakan bahwa aku ingin segalanya berubah, dimulai dari tubuh ini. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tahu takkan ada penyesalan. Mungkin ini juga caraku menandai tubuhku dengan sesuatu yang selalu kutakutkan akan menghilang semudah ia datang. Maka kuukir simbolnya di tubuhku, agar kuingat. Jika Engkau bisa menato jiwaku dengan namanya, lakukanlah sekarang. Engkau tahu, Tuhan—bolehkah aku memanggil-Mu begitu?—aku hampir menyerah, hampir hidup seperti orang yang pasrah pada hukumannya, tunduk pada nasib kecilnya yang menyedihkan, hidup seperti dalam ruang tunggu panjang yang suhunya di bawah titik nyaman, lalu tiba-tiba, muncullah pengampunan yang indah ini—aku tahu aku pakai kata-kata besar, tapi aku yakin Engkau paham, Tuhan—dan dari gang sempit, gelap, berlumpur dan senyap itu, hidupku membengkak jadi rumah mewah besar yang menghadap ladang terbuka dengan pemandangan pantai dari segala arah dan ruangan luas yang jendelanya terbuka lebar, tak pernah berderak, tak pernah terbanting, saat angin laut menyapu rumah yang tak pernah mengenal gelap sejak hari pertama Engkau menyalakan api dan tahu bahwa terang itu baik."
"Jadi kau pelawak rupanya! Lalu Tuhan ngapain?"
"Tuhan tentu saja membiarkanku masuk. 'Silakan masuk, orang baik,' katanya. Tapi lalu aku bertanya, 'Maafkan saya, Yang Mulia, tapi apa gunanya surga untukku sekarang?'
'Surga itu ya surga. Tak ada yang lebih baik dari ini. Kau tahu apa yang sudah dikorbankan orang demi tinggal di sini? Mau lihat alternatifnya? Aku bisa tunjukkan. Bahkan, aku bisa membawamu ke bawah sana dan memperlihatkan tempat di mana kau bisa dengan mudah ditusuk dan dipanggang karena tato konyol yang menembus bagian kau tahulah itu. Tapi kau malah cemberut. Kenapa?'
'Kenapa, Tuhan? Karena aku di sini, dan dia di sana.'
'Apa? Kau ingin dia mati juga supaya kalian bisa bercumbu dan bermesraan di kerajaanku?'
'Aku tak ingin dia mati.'
'Apa kau cemburu karena dia mungkin akan menemukan orang lain, karena dia pasti akan menemukannya.'
'Aku juga tak keberatan soal itu.'
'Lalu kenapa, orang baik?'
'Aku cuma ingin satu jam lagi, satu jam saja dari triliunan jam abadi di keabadian ini, bersamanya. Sepercik kecil dari lautan waktu tak berujung. Takkan membuat-Mu rugi, aku cuma ingin kembali ke Jumat malam itu di enoteca kami, saling genggam tangan di atas meja, saat mereka terus menyajikan anggur dan keju sampai tempat itu sepi, tinggal kekasih dan sahabat sejati yang tersisa. Yang kuinginkan cuma kesempatan untuk mengatakan bahwa apa pun yang terjadi di antara kami, meski hanya berlangsung 24 jam, itu layak ditunggu sepanjang sejarah cahaya sebelum evolusi mulai pun, dan hingga debu kami tak lagi debu, sampai suatu hari di galaksi entah mana di masa entah kapan, sepasang Sami dan Miranda akan terjadi lagi. Aku doakan mereka yang terbaik. Tapi sekarang, Tuhan, yang kuminta cuma satu jam lagi.'
'Tapi tidakkah kau lihat?' katanya.
'Apa yang tak kulihat?'
'Tidakkah kau lihat bahwa kau sudah mendapat satu jam itu. Dan aku tidak cuma memberimu satu jam, Aku berikan dua puluh empat. Kau tahu betapa sulitnya bagiku membiarkan organ-organmu bekerja seperti seharusnya, apalagi di usia begini, dan itu pun bukan sekali, tapi dua kali.'
'Koreksi: tiga kali, Tuhan, tiga kali.'
Ia diam beberapa detik.
'Dan selain itu, kalau Aku beri kau satu jam sekarang, kau akan minta satu hari, lalu satu tahun. Aku tahu jenismu.'
YOU ARE READING
FIND ME
RomanceDalam Find Me, Aciman menunjukkan kepada kita ayah Elio, Samuel, dalam perjalanan dari Florence ke Roma untuk mengunjungi Elio, yang telah menjadi pianis klasik berbakat. Pertemuan tak sengaja di kereta dengan seorang wanita muda cantik mengacaukan...
