Minggu-minggu itu terasa berbeda bagi Nina. Bukan hanya karena harus belajar setiap hari, melainkan karena kini ada jadwal lain yang menghiasi kalender kecil di kamarnya. Minggu demi minggu ia datang ke ruang kecil beraroma lavender itu, duduk di sofa biru muda, dan bercerita pada seorang wanita paruh baya yang selalu merespons dengan lemah lembut--Nina sangat suka padanya.
Di sana, ia sering diminta mengisi lembar-lembar soal yang terasa seperti teka-teki--ada tentang angka, warna, bentuk, dan kadang pertanyaan yang membuatnya bertanya-tanya, “Apa hubungannya ini sama aku nggak ngerti Matematika?”.
Kadang, ia duduk lama di depan layar, menekan tombol setiap kali muncul huruf tertentu. Kadang ia diminta mengingat urutan angka, atau menyebutkan nama benda dalam gambar secepat mungkin. Dan di akhir sesi, ada obrolan panjang yang melibatkan kedua orang tuanya.
Sesekali, ia melihat kekhawatiran di mata ayahnya. Bundanya senantiasa menggenggam tangannya--mencoba menguatkan Nina padahal dialah yang paling terpukul. Nina tahu mereka khawatir. Maka, di perjalanan pulang, Nina justru selalu tersenyum dan menguatkan mereka. Senyum itu bukan kepura-puraan belaka. Karena baginya, semuanya mulai terasa sedikit lebih jelas.
Sedikit demi sedikit, dia mulai berusaha mencatat. Buku catatannya ia hias semenarik mungkin dengan gambar-gambar kecil dan warna-warna cerah dari highlighter. Dan kini, ia berusaha lebih keras untuk mencerna penjelasan Jovita. Berkat kerja kerasnya, nilai-nilainya perlahan mulai meningkat--meski masih ada yang kepala dua juga. Perubahan itu tidak drastis, tapi konsisten.
Sampai suatu siang di kelas, ketika kertas ulangan IPA dibagikan, Nina terperangah. Ia refleks bangkit dari kursinya. Tubuhnya membeku, matanya melotot, mulutnya tak berhenti menganga.
75.
Untuk pertama kalinya sejak semester satu, nilainya pas KKM dan tak perlu menghadapi remedial.
Kepalan tangannya terangkat ke udara. "Yes!" pekiknya membuat beberapa orang menengok ke arahnya dengan tatapan kebingungan.
Ia memeluk kertas itu, lalu melompat-lompat kecil.
Nina duduk kembali, matanya berbinar. Kertas itu ia pelototi lagi seolah angka yang ditulis dengan tinta merah di sudut kanan atasnya akan berubah. Tapi tidak. Tetap 75. Semua itu nyata.
Aurel yang duduk di depan Nina menengok ke belakang dan bertanya, "Kamu dapet berapa, Nin?"
"75!" ucapnya girang.
"Wih, congrats!" timpal Dhea--teman sebangku Aurel, matanya melebar.
Jovita yang duduk di sebelahnya yang baru saja melipat kertas ulangannya dan memasukkannya ke dalam tas ikut menampakkan wajah terkejut. "Beneran, Nin?" Nina mengangguk cepat dengan senyum yang tak kunjung pudar.
"Wow! Keren banget!" Jovita melongok untuk mengintip kertas ulangan teman sebangkunya dan mendapati coretan tinta merah yang lebih sedikit dari biasanya.
"Pokoknya abis ini aku harus pamer ke Bunda, Ayah, Rani, terus video call Kak Gia. Aku mau minta tambahin uang saku, minta dimasakin ayam bakar, terus ...--" Nina menghitung dengan jarinya, daftar itu terus bertambah, membuat Jovita, Aurel, dan Dhea tertawa.
Tiba-tiba daftarnya berhenti bertambah, perhatiannya teralihkan pada lelaki yang baru datang dari luar kelas dan tengah berjalan menuju kursinya. "Deva!" panggilnya.
"Kamu dapet berapa?"
Belum sempat Deva menjawab--bahkan ia belum melihat kertas ulangan yang ada di mejanya, gadis itu kembali menyerocos, memamerkan kertas miliknya di depan wajahnya, membuat Deva refleks memundurkan wajah. "Aku akhirnya nggak remed!"
ESTÁS LEYENDO
Let's Escape the Nightmare Together
Novela Juvenil[teen fiction, coming of age, magical realism] Nina dan Deva adalah partner in crime sejak masa taman kanak-kanak. Jika ada mereka, maka seisi taman bermain akan porak-poranda. Petualangan penuh keseruan ini bertahan hingga kelas tiga SD, sebelum De...
