15. her, who lingers in thought

0 0 0
                                        

Sejak saat itu, keberadaan Deva tak lagi sekadar nama terakhir di daftar absen. Kursi di pojok kelas itu tak lagi kosong. Dia tidak langsung lepas dari canggung. Terkadang dia hanya membalas jika disapa atau melempar satu atau dua guyonan pada teman sekelasnya. Namun, perlahan tapi pasti, perubahan itu ada.

Kini, ia tak lagi menunggu malam datang untuk sekadar bertanya pada Nina di alam mimpi. Dan seiring bertambahnya frekuensi pertemuan mereka di dunia nyata, dunia mimpi itu perlahan terkikis. Malam-malamnya kini tak lagi dihiasi adegan yang sama. Terkadang ia tidur pulas, kadang hanya mimpi tak jelas, tapi wajah Nina ... perlahan menjauh dari dunia itu.

Ia tak merasa kehilangan. Nina yang hadir di hidupnya sekarang jauh lebih hidup daripada Nina yang tinggal di kepalanya.

"Dev, kamu dari tadi dengerin nggak sih?" Penjelasan Calvin terhenti ketika melihat Deva yang ada di sebelahnya malah melamun memperhatikan Nina yang menghantam kepalanya ke meja kafe setelah pusing mencerna penjelasan Jovita.

Pertanyaan Calvin membuyarkan lamunan Deva. Ia langsung menjawab, "Nggak, maaf."

Calvin mendengkus sebal. "Terus ngapain aku ngomong panjang lebar dari tadi?!" keluh Calvin emosi.

Deva hanya menyengir tanpa rasa bersalah. "Boleh ulang yang tadi nggak, Vin?"

"Nggak!" Calvin segera merampas pulpan yang ada di atas buku catatan Deva lantas menulis sesuatu di buku catatannya sendiri.

"Kalian berdua ini, UTS tinggal dua minggu lagi loh," ucap Jovita.

Dengan kepala yang masih menempel pada meja Nina bergumam, "Dua minggu itu lama, Jov."

Perlahan ia mengangkat kepalanya, tangannya sibuk memainkan pulpen hingga menimbulkan bunyi klik-klak, klik-klak.

"Nggak lama lagi, Nin. Ini aja kita baru reviu sub bab pertama dari bab pertama!" Telunjuk Jovita mengarah ke judul sub bab di halaman buku paket itu.

Calvin tiba-tiba menyodorkan buku paketnya di antara Deva dan Nina yang duduk berhadapan. "Nih, Nin, Dev, coba kalian kerjain dulu soal-soal halaman 12, biar keliatan bagian mana yang kalian masih nggak paham."

Deva dan Nina mengangguk bersamaan. Mereka menunduk, mencoba mengerjakan soal itu sesuai yang diminta, tapi hanya beberapa menit kemudian Nina sudah kembali bersandar lemah ke kursi dengan ekspresi putus asa seolah arwahnya tersedot oleh soal-soal di buku itu.

"Nggak paham semua, kayaknya aku mending disuruh bangun candi daripada ngerjain soal ini," ucapnya tanpa minat.

"Dicoba dulu, Nin!" Jovita berusaha menyemangati.

"Nggak, Jov, kayaknya aku emang nggak pinter matematika, ulangan-ulanganku selalu dapet jelek."

Nyatanya, nilainya hampir semua di bawah KKM, hanya saja matematika yang terendah--pernah sekali nilainya nol.

"Nggak apa-apa, Nin. Bukan kamu doang kok, Deva juga," ledek Calvin, matanya melirik ke lelaki yang duduk di sebelahnya.

Deva tak terima disamakan dengan Nina. "Aku 'kan nilainya jelek karena nggak pernah masuk!"

"Tapi dari dulu pas SD kamu juga selalu ranking 20-an, Dev, padahal masuk tiap hari," timpal Nina.

"Aku ranking 21, Nin, kamu ranking 26 dari 26 anak!" balas Deva tersinggung.

Nina tak dapat membalas lagi. Dia hanya bisa tersenyum kecut mengingat track record nilai-nilainya selama sekolah. Dia bisa masuk ke SMA negeri yang cukup favorit pun karena rumahnya dekat dari sekolah.

Nina menghela napas berat, matanya menatap buku catatannya yang kosong.  "Lagian ayah sama bundaku aja nggak pernah marah kalo nilaiku jelek," ucapnya enteng.

Let's Escape the Nightmare TogetherWhere stories live. Discover now