14. to him who deserves to be embraced

3 0 0
                                        

Di pangkal tangga, Deva menarik napas panjang. Dadanya masih berdebar. Ia melirik ke bawah--seragam olahraga menggantikan hoodie hitam kebanggaannya. Ia sempat berpikir untuk tetap mengenakannya, tapi urung--memakai hoodie hitam tebal di siang terik hanya akan mengundang perhatian orang-orang.

Di punggungnya, tas ransel kosong menggantung longgar. Hanya satu pulpen di dalamnya--yang entah masih bisa dipakai atau tidak. Tapi setidaknya, ia membawa sesuatu. Itu sudah cukup jadi kemajuan kecil.

Semuanya masih terasa ganjil.

Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, ia bulat memutuskan untuk pergi sekolah--bukan karena ada mamanya, seperti biasanya.

Perlahan ia turun. Di ruang tamu, mamanya duduk di sofa sambil menatapnya lekat-lekat sambil terus tersenyum. Deva jadi salah tingkah dibuatnya.

“Berangkat dulu, Ma,” katanya sambil menunduk, bersiap menyalimi tangan mamanya.

Namun, mamanya langsung menjawab, “Mama anter, ya.”

Ia sempat terdiam sejenak, lalu hanya mengangguk pelan. “Iya, Ma.”

***

Di dalam mobil, kabin dipenuhi keheningan. Hanya suara mesin dan angin yang berembus dari AC samar-samar. Deva duduk di kursi penumpang, memandangi jalanan yang dipenuhi dekorasi bendera merah-putih, beberapa jalanan kompleks ditutup karena ada lomba, suasana hari itu benar-benar ramai--kontras dengan suasana di mobil itu. Mamanya di kursi kemudi, tangannya menggenggam setir, sesekali melirik ke arah Deva sejenak, tapi tak berkata apa-apa.

Hubungan mereka memang masih canggung. Deva masih belum terbiasa pada mamanya yang mendadak sangat baik dan perhatian padanya. Setiap hari, mamanya menyempatkan diei untuk mencoba resep baru, mencoba mengobrol dengannya minimal sepuluh menit sehari, dan mengetuk kamarnya tiap beberapa jam sekali hanya untuk mengecek keadaannya. Bahkan, mamanya rela mengambil cuti dua minggu penuh untuk menemaninya.

Akhir-akhir ini, mereka mulai membuka ruang untuk satu sama lain.  Mamanya tak lagi menghindari pembicaraan tentang papanya. Akhirnya, Deva mengetahui bahwa semenjak kedua orang tuanya bercerai, papanya masih tinggal di rumah lamanya. Namun, sejak hari itu mamanya belum pernah menghubunginya sama sekali. Jadi, ia pun tak tahu kabar pria itu sekarang. Namun, mamanya menawarkan bahwa akan berusaha menghubungi papanya jika Deva mau.

Ia tidak tahu apa yang akan ia rasakan jika harus melihat papanya lagi. Apakah ia akan marah? Apakah dinding yang susah payah ia bangun akan runtuh? Apakah ayahnya masih orang yang sama? Ia tak tahu.

Minggu depan, ia akan ke psikolog lagi. Tapi kali ini ia berjanji: ia akan benar-benar bicara. Tidak lagi hanya duduk menunduk, menjawab pertanyaan sekenanya, lalu pulang dengan kepala yang masih penuh.

Masih ada jarak antara mereka berdua. Tapi mungkin, di antara keheningan dan kata-kata yang belum terucap, ada sesuatu yang perlahan tumbuh.

***

Matahari bersinar terik, hawa panasnya menyengat kulit pucat lelaki itu, membakar pelipisnya hingga keringat bercucuran. Meski begitu, siswa lain tetap berlomba dengan enerjik, berusaha memastikan kemenangan bagi kelas mereka. Yang tidak ikut lomba pun ikut berpartisipasi sebagai supporter. Mereka berteriak, mengudarakan yel-yel, dan loncat-loncat kegirangan. Di antara teriakan supporter, ada yang meniup terompet mainan, memukul galon kosong, atau menggoyang pom-pom rakitan dari tali rafia.

Deva sesekali melirik lapangan. Meski dikerumuni banyak orang, tubuhnya yang menjulang membuatnya tetap bisa melihat perlombaan. Saat ini panitia tengah sibuk mempersiapkan arena lomba balap karung.

Tiap malam Nina mengingatkannya untuk datang menontonnya di lomba balap karung. Namun, Deva tak tahu kapan Nina akan tampil, dan tak ada seorang pun yang ia kenal di lapangan itu. Maka, ia memutuskan untuk pergi ke kantin.

Let's Escape the Nightmare TogetherOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz