13. her, who never questions her tomorrow.

2 1 0
                                        

Lift rumah sakit bergerak lambat, dinding logamnya memantulkan cahaya redup. Bunyi mesin yang menggeram pelan menyelimuti keheningan di antara mereka bertiga.

"Makasih ya, Jovi, Calvin. Sumpah aku nggak tau lagi kalo nggak ada kalian." Nina memecah sunyi di dalam lift rumah sakit. Kelegaan terpancar dari suaranya, seolah beban yang ia pikul baru saja lepas dari pundaknya.

"Nggak apa-apa, Nin," balas Jovita, tersenyum lembut.

"Kita semua panik kok, tapi untung kemistri kita bagus," tambah Calvin santai.

"Kemistri katanya," gumam Jovita sambil melempar tatapan malas.

"Tapi di antara kita kamu kayaknya paling nggak panik, Vin," komentar Nina sambil melirik ke arah Calvin yang sidah membusungkan dadanya, bangga.

Calvin mengangkat bahu santai. "Aku dulu di SMP emang ikut PMR, sih, jadi lumayan tau lah basic-basic pertolongan pertama." Nina ber-oh ria.

"Terus di SMA lanjut PMR lagi?" tanya Jovita.

"Iya dong!" jawab Calvin semangat. "Lumayan sertifikat-sertifikatnya buat masuk kedokteran." Calvin mengacungkan jempol.

"Oh, kamu mau jadi dokter?" tanya Nina dengan tatapan kagum.

Calvin menjawab dengan anggukan, senyumnya melebar.

"Dokter Calvin ...," gumam Nina, matanya menerawang membayangkan Calvin dengan jas putih dan stetoskop melingkar di lehernya.

Ekspresi Calvin langsung berbinar. Refleks, ia menyugar rambut klimisnya. Tapi sebelum egonya membubung terlalu tinggi, suara datar Jovita menghantam, "Nggak cocok."

"Gini-gini dulu aku ketua PMR tau!" protesnya sinis.

Jovita tergelak. "Iya, iya, percaya."

"Kalo kamu, Jovi, mau jadi apa?" Nina gantian bertanya pada Jovita.

Jovita tampak berpikir sejenak sebelum menjawab dengan sedikit ragu, "Aku kayaknya pengen jadi psikolog."

"Ah, cocok sih, kamu kayaknya emang suka dengerin orang curhat. Makasih ya, Jov, udah dengerin cerita-cerita aku." Ia tersenyum tulus.

"Um, sama-sama," balas Jovita.

"Aku emang tertarik sih sama ilmu psikologi. Aku juga pengen bantu banyak orang yang mungkin nggak punya tempat berkeluh kesah," tambahnya dengan senyuman teduh.

"Kalo aku yang curhat boleh?" seloroh Calvin dengan cengiran jahil.

"Kalo kamu yang curhat aku roasting!" sahut Jovita, matanya menyipit penuh ancaman.

Nina tertawa terbahak-bahak hingga menitikkan air mata, suaranya menggema dalam ruang sempit itu. Ia membayangkan Jovita memanggang Calvin seperti babi guling secara literal.

Lift pun berbunyi lembut, pintu terbuka perlahan. Mereka melangkah keluar menuju halaman depan rumah sakit. Udara luar lebih hangat dibanding ruangan ber-AC tadi, dan aroma antiseptik rumah sakit mulai tergantikan oleh bau rumput basah setelah hujan sempat mengguyur.

"Kalo kamu, Nin, mau jadi apa?" Jovita balik bertanya.

Senyum gadis yang mengenakan jepitan gambar bintang di poninya itu seketika memudar. Nina berpikir keras.

Dulu, cita-cita pertamanya adalah menjadi seperti superhero yang bisa terbang dan berlari secepat kilat. Lalu, setelah sadar bahwa ia terlalu takut dengan petir, ia mengganti cita-citanya.

Ia baru memiliki cita-cita yang lebih normal di kelas empat SD, menjadi pelukis. Ia masih ingat betapa bangganya saat gambar-gambarnya dipajang di majalah dinding kelas, disanjung orang tua dan teman-temannya, membuatnya seperti di atas awan dan mulai berpikir bahwa ia ingin jadi pelukis. Tapi seiring waktu, semangat itu memudar. Ia mulai jarang menggambar, tak pernah mengikuti lomba, bahkan tak tahu lagi di mana cat-cat akrilik yang waktu itu langsung dibelikan orang tuanya ketika tahu ia gemar melukis.

Let's Escape the Nightmare TogetherWhere stories live. Discover now