Kanibalisa : Monster (1)

1.9K 83 3
                                    

Tampak seorang gadis berusia 5 tahun tengah menggambar sesuatu dengan kapurnya. Di jalan yang sepi itu, ia hanya sendirian. Tak bergumam ataupun berbicara, yang dia lakukan hanya menggambar. Hingga beberapa saat kemudian, sebuah motor pun melintas. Tak ada unsur kesengajaan, semua itu murni kecelakaan. Sebuah batu terlindas ban motor tersebut dan melejit terbang mengenai kepala gadis kecil itu. Pengendara motor itu tak tahu apa yang terjadi dan tetap melaju dengan aman. Si gadis itu, kepalanya robek dan mengeluarkan darah yang sangat banyak hingga membanjiri lehernya. Tapi anehnya gadis itu seperti tak merasakan apapun dan tetap menggambar seperti tak terjadi apa-apa.

Gadis itu belum menyadarinya karena terlalu asik menggambar. Meski tak merasakan sakit, efek ditubuhnya tetaplah sama. Pandangannya mulai gelap seiring darah yang mengalir.

"Ahh... Gelap.. Mataku.." ucap gadis itu sambil mengucek matanya dengan tangan mungilnya.

Sedetik kemudian ia tersungkur tak sadarkan diri. Tak ada orang disana, karena kompleks rumah tersebut sangat sepi. Gadis itupun meninggal dunia ditempat karena luka parah yang dideritanya.

5 menit kemudian.

"Ehh.. Apa itu ?" tanya Lisa seraya berjalan santai menghampiri tubuh penuh darah itu.

Lisa juga tinggal di komplek ini. Rumahnya tak jauh dari lokasinya sekarang. Dilihat dari seragam sekolahnya, pasti ia baru pulang sekolah.

"Ehm.. Anak kecil ya ? Darahnya banyak sekali.. Hey.. Adik kecil, apa kamu sudah mati ?" pikirnya seraya mengangkat tangan mungil itu lalu menjatuhkannya kembali.

Lisa mengangguk "Ahh.. Benar. Ternyata sudah mati.."

Ia menjilat darah ditangannya lalu melangkah ke depan pintu gerbang di depannya. "Mungkin ini rumahnya.."

Mayat itu tepat berada didepan rumah mewah, Lisa berpikir mungkin orang didalam rumah tahu sesuatu. Ia menggoyang-goyangnya pagar besi itu sambil memanggil dengan lantang.

"Permisi.. Apa ada orang..? Seseorang, tolong jawab aku.. Ada yang mati di depan rumahmu.. Hallo.." Tapi tak ada jawaban.

Lisa menyerah terlalu cepat dan berhenti memanggil. Ia kemudian memikirkan cara lain.

"Sebaiknya aku telfon polisi saja. Tapi, ini tidak memakan pulsa kan ?" pikirnya sedikit ragu tapi tetap ia lanjutkan.

"Hallo.. Polisi.."

Lisa melaporkan segalanya yang ia liat dan yang ia tahu lalu menutup teleponnya kembali. Ia mendengus sebal.

"Sebentar lagi polisi akan datang. Mungkin aku akan dipanggil sebagai saksi. Sebaiknya aku segera pulang dan mengganti seragamku. Ya ampun, bau sekali disini.." Katanya seraya meninggalkan mayat itu.

Tapi kemudian Lisa berhenti kembali. Ia menoleh sejenak. Matanya berubah tajam menatap keseluruhan mayat gadis yang berlumuran darah tersebut. Layaknya predator yang menahan keinginan untuk memangsa makanannya, Lisa berusaha sekuat mungkin. Liurnya membasahi seluruh bibirnya.

"Daging gadis kecil pasti sangat lembut dan merah.. Kurasa memakan satu jarinya tidak akan jadi masalah" pikir sisi jahatnya.

"Akh, tidak. Aku harus menahan diri. Jika sudah terjerumus dan ketagihan, nanti aku tak bisa menghentikannya" pikir sisi baiknya.

Lisa pun meninggalkan mayat tersebut dan berjalan pulang ke rumah. "Hari ini ada PR apa ya..? Aku lupa."

Seakan dilupakan, mayat gadis kecil itu kembali sendirian. Tak lama kemudian para polisi datang ke TKP dan mengusut tragedi mengenaskan itu. Sebagai pelapor dan saksi utama, Lisa juga ikut terlibat dalam kasus tersebut.

***

Penyakit CIPA (congenital indensitivity to pain with anhidrosis). Penyakit ini juga dikenal dengan istilah Hereditary Sensory Neuropathies (HSN) adalah penyakit gangguan / kemunduran sistem saraf
yang mengakibatkan seseorang kehilangan rasa / sensasi dari luar, terutama dibagian tangan dan kaki.

Penyakit ini sangat komplikasi, bersifat turunan, banyak tipenya dan sangat langka terjadi. Tapi yang pasti semua tipenya menyebabkan gejala yang sama yaitu kehilangan fungsi saraf sensori
dan respon kontrol terhadap sakit dan suhu. Akibatnya, seseorang tidak bisa bergerak secara spontan ketika badannya terkena rangsangan dari
luar. Intinya, pengidap penyakit tersebut tidak bisa merasakan sakit.

***

Sudah seminggu setelah kejadian itu. Mayat si bocah pun sudah dikuburkan dengan layak. Berkat CCTV dilokasi kejadian, polisi langsung dapat membekuk pelaku tunggal yang membunuh gadis kecil itu. Pria 27 tahun, Seorang Pizza Delivery adalah pelakunya. Karena murni unsur kesengajaan, si pelaku pun hanya mendapat tuntutan 1 tahun penjara dan 2 tahun masa percobaan. Tidak ada perdebatan panjang dari kedua belah pihak. Keluarga pelaku menunggu dengan sabar sedangkan Keluarga yang ditinggalkan memilih pindah rumah agar lebih cepat melupakan semuanya.

Hari berlalu begitu saja.

"Anak kecil didepan rumah. Sendirian. Kenapa dia sendirian ? Kemana semua orang dirumah itu ? Polisi menelpon. Yang pertama datang adalah pamannya. Dengan mobil dan pakaian rapih. Seperti habis pulang dari kantor. Padahal masih jam kantor. Wajahnya terlihat sedih, tapi tak ada airmata yang menetes. Ini aneh, orangtuanya baru datang 4 jam kemudian. Harusnya seorang ibu akan hancur sehancurnya tapi aku tak menyangka ekpresinya akan jadi seperti paman itu. Aku merasakan sandiwara disini. Ada rencana yang sudah dipersiapkan tapi gagal karena sebuah takdir. Aku bisa menciumnya."

Lisa menutup buku Diarynya kemudian kembali menyuap sepotong sushi. Dari jendela kamarnya, ia bisa melihat dengan jelas rumah yang penuh keanehan itu. Matanya menatap titik dimana gadis kecil itu mati sambil membayangkan kembali. Sebuah gambar manusia sederhana. Kaki tangan tubuh, terbuat dari garis putih dari kapur. 4 manusia, semuanya dewasa. Sebuah keluarga yang berdiri tegak saling bergandengan tangan. Lisa ingat jelas yang gadis cilik itu gambar sebelum tersapu oleh darah dan tak diketahui polisi. Sebuah gambar keluarga tanpa kepala. Gadis kecil itu menggambarnya sebelum mati.

"Tuhan tak menginginkan ada 2 monster tinggal ditempat yang sama.. Akan jadi masalah jika kau terus hidup dan tumbuh. Syukurlah.. Takdir telah membunuhmu." Pikir Lisa.

-Bersambung ke judul berikutnya-

KanibalisaWhere stories live. Discover now