Analysis Random Variable

145 32 0
                                        

Satu jam waktu luang mereka di kafe terasa seperti kilat. Setelah sesi pemotretan dadakan yang penuh tawa—dan menghasilkan sebuah foto berharga yang kini tersimpan aman di galeri ponsel Namtan—Milk dan Namtan harus bergegas menuju pertemuan kedua mereka di sebuah gedung perkantoran yang dingin dan anonim.

Love dan Film, yang kini telah menjadi kombo dinamis penuh kekacauan, ditinggal untuk melanjutkan petualangan mereka sendiri. Mereka menghabiskan satu jam berikutnya menjelajahi toko-toko kecil di sekitar, mencoba es krim rasa aneh, dan melakukan live Instagram singkat di akun Film yang membuat para pengikutnya heboh bertanya siapa "gadis petualang keren" di sampingnya.

Ketika Milk dan Namtan akhirnya menyelesaikan pertemuan terakhir mereka, hari sudah beranjak sore. Langit Bandung mulai diwarnai semburat oranye.

"Kami nginap di sini malam ini," kata Namtan saat mereka berempat berkumpul lagi. "Film ada pemotretan di Lembang besok pagi. Daripada buru-buru pulang."

"Ide bagus!" seru Love. "Kalian bisa kulineran malam!"

Ini berarti, perjalanan pulang ke Jakarta hanya akan diisi oleh Milk dan Love. Berdua saja. Di dalam ruang tertutup mobilnya selama kurang lebih dua jam. Sistem internal Milk langsung menaikkan status siaga dari hijau ke kuning.

Perjalanan pulang dimulai dengan keheningan yang berbeda dari sebelumnya. Keheningan yang bukan canggung, tapi juga tidak sepenuhnya nyaman. Milk fokus menyetir, buku-buku jarinya sedikit memutih saat mencengkeram kemudi. Ia sedang berperang dengan "data anomali" yang ia kumpulkan di kafe tadi.

Love, yang tidak menyadari badai di dalam kepala Milk, merasa santai dan bahagia. "Hari ini seru banget, ya," katanya, memecah keheningan. "Sama sekali nggak kerasa kayak ngurus kerjaan. Nggak nyangka juga bisa langsung ketemu Mas Nanon. Jadi surat istirahatku langsung beres."

Nama itu. Nanon. Seperti sebuah kata kunci yang memicu program error di otak Milk.

"Nanon," ulang Milk, suaranya lebih datar dari aspal jalan tol. "Apakah itu nama lengkapnya atau sebuah moniker informal?"

Love menoleh, sedikit bingung dengan pertanyaan aneh itu. "Panggilan, kayaknya. Nama aslinya Nanon... apa ya, lupa. Nanon Wirahadikusuma atau semacam itu. Dia profesorku sekaligus kepala divisi penelitian. Kenapa emangnya?"

"Aku hanya sedang melakukan klasifikasi terhadap individu dalam lingkaran sosialmu," jawab Milk. Nada bicaranya terdengar seperti seorang agen sensus. "Apa relasi profesional dan personalmu dengannya? Berapa lama kalian sudah saling mengenal? Apa frekuensi komunikasi verbal dan tekstual kalian?"

Love terdiam. Ia menatap Milk yang sedang menatap lurus ke jalan, namun rahangnya tampak mengeras. Awalnya ia bingung, lalu sebuah senyum geli mulai terkembang di wajahnya saat ia menyadari apa yang sedang terjadi.

"Tunggu dulu, tunggu dulu," kata Love, nadanya kini penuh dengan keisengan. "Ini apa? Sesi wawancara? Kenapa kamu tiba-tiba jadi kayak agen intelijen? Kamu... cemburu, ya?"

Pertanyaan langsung itu menghantam Milk seperti sebuah truk. "Cemburu?" balasnya, nadanya naik sedikit karena defensif. "Cemburu adalah sebuah respons emosional primitif yang tidak logis dan tidak efisien. Aku tidak beroperasi dengan emosi seperti itu. Aku hanya... mengumpulkan data untuk memetakan potensi risiko."

"Risiko?! Risiko apa?" tanya Love, kini nadanya mulai dramatis, ikut terbawa permainan. "Risiko aku diculik oleh profesorku sendiri di tengah kafe yang ramai? Atau risiko aku tiba-tiba lupa cara membaca peta es karena terlalu banyak tertawa?"

"Risiko... kontaminasi data," kata Milk, terdengar semakin tidak masuk akal bahkan di telinganya sendiri.

"Kontaminasi data?!" seru Love dengan nada tak percaya. "Jadi sekarang aku ini salah satu proyek penelitianmu juga? Sebuah spesimen yang harus kamu awasi? Siapa temanku, siapa bosku, apa yang aku tertawakan? Kamu nggak percaya sama aku, gitu?"

Pertengkaran kecil itu menjadi semakin seru. Ini kocak karena betapa buruknya Milk mencoba menyembunyikan perasaannya di balik jargon-jargon aneh. Namun, ini juga menjadi dramatis karena tanpa sadar, pertanyaan Milk menyentuh titik sensitif.

"Aku hanya mencoba memahami duniamu!" balas Milk, suaranya sedikit meninggi.

"Dengan cara menginterogasiku? Dengan cara menuduhku tanpa alasan? Aku kira kita sudah melewati tahap ini, Milk! Aku kira kamu sudah mulai melihatku sebagai manusia, bukan sebagai 'variabel acak'!"

Skakmat. Love menggunakan kata-katanya sendiri untuk menyerangnya. Keheningan yang berat dan menyakitkan mengisi mobil itu. Musik tidak lagi berputar. Hanya suara deru mobil di jalan tol.

Milk merasa seperti orang bodoh. Ia telah merusak suasana yang baik. Ia telah membiarkan sebuah emosi yang tidak ia pahami mengambil alih sistemnya dan menyebabkan kerusakan. Ia melirik ke arah Love, yang kini menatap ke luar jendela, wajahnya tidak lagi ceria.

Setelah beberapa kilometer dalam keheningan yang menegangkan, Milk melakukan sesuatu yang tidak terjadwal. Ia menyalakan lampu sein dan menepikan mobilnya di rest area berikutnya. Ia mematikan mesin.

Ia tidak menatap Love. Ia menatap lurus ke depan, ke arah deretan truk yang diparkir.

"Analisisku sebelumnya..." ia memulai, suaranya pelan dan penuh perjuangan. "...mengandung bias. Sangat bias. Data yang kukumpulkan terkontaminasi oleh... output emosional internal yang tidak terduga dan tidak teridentifikasi sebelumnya."

Ia berhenti, menarik napas. "Kesimpulanku tidak valid. Protokolku salah. Aku... minta maaf."

Itu adalah permintaan maaf paling kaku dan paling tulus yang pernah Love dengar. Kemarahannya menguap seperti embun pagi. Ia menatap pria di sampingnya, melihat betapa sulitnya baginya untuk mengakui hal itu.

Ia melembut. "Jadi," tanyanya lagi, kali ini dengan suara yang lembut, tanpa tuduhan. "Tuan Perencana, kamu cemburu?"

Milk memejamkan matanya sejenak. Ia memutuskan untuk berhenti bersembunyi di balik data. Waktunya untuk menghadapi anomali ini secara langsung.

"...Saat aku mendengar tawamu dengannya," Milk mengakui, masih menatap ke depan, "tingkat detak jantungku menunjukkan peningkatan anomali sebesar 17 BPM. Konsentrasiku pada rapat menurun drastis. Ada... dorongan internal untuk... melakukan intervensi yang tidak bisa dijelaskan oleh logika." Ia akhirnya menoleh pada Love. "Jika definisi operasional dari 'cemburu' mencakup parameter-parameter fisiologis dan psikologis tersebut... maka... ya. Analisisku menunjukkan probabilitas tinggi bahwa aku... cemburu."

Pengakuan itu, dengan caranya yang sangat Milk, adalah hal paling romantis yang bisa Love bayangkan. Ia tidak tertawa. Ia merasakan kehangatan yang luar biasa menyebar di dadanya. Pria ini baru saja membedah perasaannya sendiri seolah itu adalah sebuah laporan ilmiah, hanya untuk bisa jujur padanya.

Love tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangannya dan meletakkannya di atas lengan Milk yang masih tegang di atas setir. "Terima kasih sudah jujur, Milk," bisiknya. "Dan asal kamu tahu, Nanon itu sudah punya istri dan tiga anak. Dia lebih sering membahas soal fosil daripada soal perasaan."

Milk menatap tangan Love di lengannya, lalu ke wajah Love. Ketegangan di bahunya perlahan menurun. "Data yang... menenangkan," jawabnya, akhirnya berhasil tersenyum kecil.

Mereka duduk di sana selama beberapa saat, di dalam mobil yang diparkir di rest area yang ramai, namun terasa seperti dunia hanya milik mereka berdua. Pertengkaran itu, alih-alih menjauhkan, justru telah meruntuhkan satu lagi dinding di antara mereka.

Milk menyalakan mesin mobil lagi. Saat mereka kembali ke jalan tol, suasana sudah berubah total. Keheningan kini terasa nyaman, diisi oleh pemahaman baru. Love tidak menyalakan musiknya lagi. Ia hanya bersandar santai, sesekali melirik pria di sampingnya yang kini menyetir dengan lebih rileks, dan berpikir bahwa perjalanan yang paling seru bukanlah perjalanan menjelajahi es di kutub, melainkan perjalanan untuk memetakan hati seorang Milk Vosbein.

The Life of UsWhere stories live. Discover now