12. her, who strives to stand on her own.

5 2 0
                                        

"Makanya, jangan pernah bergantung sama laki-laki. Kalau kamu nggak kerja keras, kamu bakal diremehin seumur hidup," ucap ibunya suatu hari di meja makan saat makan malam, membuatnya gerakannya yang tengah mengambil sendok terhenti.

Kata-kata ibunya terus menancap di benaknya. Sejak hari itu, dia punya motivasi hidup baru: dia harus bekerja sekeras mungkin, untuk ibunya, adik-adiknya, dan mungkin untuk anaknya kelak.

Sejak SMA, apa pun dia lakukan demi masa depan yang terjamin--belajar keras, aktif di berbagai organisasi, menjadi relawan, ikut berbagai lomba, bahkan kerja sebagai model. Tak ada waktu untuk berleha-leha. Selama ia masih mampu, selama ia masih punya waktu, ia harus bekerja keras.

Kerja keras itu membuahkan hasil, segala yang ia inginkan terpenuhi. Diterima di jurusan Arsitektur di kampus negeri ternama, mendapat beasiswa hingga lulus, dan berhasil menjadi mahasiswa berprestasi. Meski begitu, cibiran, tatapan sinis, atau komentar--bahwa dirinya terlalu kaku, terlalu serius--ia terima. Tapi ia tak gentar. Hidupnya bukan untuk menyenangkan semua orang.

Di tahun terakhirnya, ia menutup perjalanan dengan menjadi wakil presiden BEM. Saat itu dia berhasil mengenal dekat sang presiden BEM.

"Ya nggak apa-apa dong kalo capek! Capek itu artinya kamu udah berjuang," ucap lelaki itu ketika menghadapinya di titik terendah.

Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung, bahunya bergetar, dan ia berusaha menutup wajahnya dengan tangan, malu telah runtuh di hadapan seseorang yang selama ini terlihat begitu sempurna. Namun, Andre tidak menjauh. Ia justru mendekat, duduk bersila di hadapannya, dan menatapnya dengan tatapan yang tulus. Sejak hari itu, hubungan keduanya lebih dari sekadar presiden dan wakil presiden BEM.

Didukung oleh teman-teman mereka, akhirnya sang putri dan pangeran melaju ke jenjang pernikahan. Bersama buah hati mereka, mereka berjanji akan menciptakan masa depan yang indah bagi keluarga kecil mereka.

Namun, nyatanya hidup tak selalu sejalan dengan harapan. Ketika suaminya kehilangan pekerjaan, perlahan semuanya berubah. Beban berpindah ke pundaknya. Ia menjadi satu-satunya yang bekerja, sementara pria yang dulu ia cintai perlahan menjauh, tenggelam dalam rasa malu dan frustrasi. Ia merasa dikhianati oleh kenyataan: karena lagi-lagi, ia harus menjadi kuat. Lagi-lagi, ia sendirian.

Sekian lama memendam semuanya, ia kembali pada prinsipnya: jangan bergantung pada siapa pun. Ketika perbedaan pendapat tak lagi dapat dibendung, maka perceraian menjadi tak terelakkan.

Setelah perceraian itu, ia merasa harus membuktikan, bahwa ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri, bahwa masa depan anaknya akan terjamin di tangannya.

Kendati demikian, jauh di lubuk hatinya, pekerjaan yang ia lakukan siang dan malam hanyalah alibi untuk mendistraksi pikirannya dari segala masalah yang menimpa.

Malam ini, ponselnya berdering, kabar yang ia terima dari ketua kelas anaknya membuat jantungnya berhenti sejenak.

Dunia seketika runtuh. Ia tak bisa berpikir. Tanpa pikir panjang ia meninggalkan pekerjaannya, menyerahkan semuanya pada rekannya, lantas mengebut di jalan tol untuk menemui anaknya yang berada di UGD.

Di lobi rumah sakit, ia duduk sendirian. Napasnya tidak teratur. Dadanya sesak. Penyesalan datang seperti ombak yang mengikisnya bertubi-tubi.

Kini, ia sadar, ia terlalu sibuk memadamkan apinya sendiri, hingga tak melihat bahwa cahaya kecil itu perlahan meredup.

Deva tumbuh dengan ibunya yang selalu sibuk, terlalu sibuk untuk bertanya tentang hari-harinya. Dan terlalu takut masa lalu akan mengusik masa depan.

Di detik itu ia sadar, inilah saatnya menghadapi luka yang selama ini ia abaikan. Seperti ibunya yang pada akhirnya kembali menerima ayahnya.

Let's Escape the Nightmare TogetherTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon