Layar televisi masih menyala, menampilkan menu utama PlayStation. Dalam kabut antara sadar dan tidak, Deva seolah melihat sosok papanya duduk di sampingnya—tersenyum hangat.
Entah sejak kapan, suasana di sekelilingnya berubah. Ia kini berada di ruang tamu rumah lamanya. Di mejanya tersaji aneka makanan. Di luar, hujan mengguyur deras disertai gemuruh petir yang berdahutan. Hari itu adalah ulang tahunnya yang ketujuh.
Barulah ia sadar, tubuhnya bukan lagi remaja. Ia telah kembali ke masa kecil. Ia mengenakan jersey klub bola Real Madrid lengkap dengan sepatu bolanya. Rambutnya disisir hingga klimis.
"Pa, kenapa sih namaku Yuki? Aku jadi sering dikatain Yuki Kato," tanyanya dengan bibir mengerucut, kesal.
Ah, ia ingat percakapan ini.
"Emang kenapa? Yuki Kato ‘kan cantik," jawab papanya sambil terkekeh.
"Tapi aku ‘kan cowok!" protesnya, bertolak pinggang.
"Yuki itu nama pemberian kakekmu. Jauh-jauh beliau datang dari Jepang buat lihat cucu pertamanya lahir," ungkapnya.
"Tapi kenapa Yuki? Kenapa nggak... Naruto aja, biar keren?"
Papanya tertawa keras oleh pertanyaan polos itu, lalu mengacak-acak rambutnya yang sudah susah payah ia rapikan setiap sepuluh menit sekali, membuatnya merengut kesal.
“Kamu lahir 17 Desember, pas musim salju di Jepang. Makanya kakek kasih nama Yuki--artinya salju,” jelas pria itu sambil melirik wajah anaknya yang masih tampak tak puas.
Papanya lalu menaruh telapak tangannya di pipi Deva. Tatapannya berubah lebih lembut.
“Namanya cocok kok. Kulitmu putih kayak salju ... mirip Mamamu,” jelasnya dengan senyum merekah seraya mengelus pipi anaknya. Tapi perlahan gerakannya terhenti, senyumnya memudar. Matanya berkaca-kaca, bibirnya gemetar. Kulit putih itu, rambut dan mata hitam legam itu, alis tebal, mata sayu ... semuanya milik istrinya. Tak satu pun miliknya.
Pria itu tiba-tiba memegang kedua pundak Deva, menatap dalam-dalam wajah anaknya yang bingung akan perubahan ekspresinya.
Ia memeluknya erat. Suaranya nyaris tak terdengar saat berkata, “Kamu harus kayak Mama ya ... jangan kayak Papa. Kamu harus sukses, harus bikin Mama bangga. Jangan bikin dia sedih ….”
Waktu itu, Deva tak mengerti maksud kata-kata itu. Ia hanya merasa aneh—kenapa papanya tiba-tiba menangis. Namun, di dalam pelukan hangat itu, ia ikut menangis juga.
Perlahan, visualisasi itu mulai pudar. Pelukannya meregang, suara hujan lenyap, cahaya meredup. Semua digantikan oleh kegelapan yang sunyi.
***
Nina tercekat. Dunia seolah berhenti berputar. Suara napasnya terdengar kasar dan tak teratur, beradu dengan detak jantung yang memburu di dadanya. Tubuh Deva tergeletak lemah di atas karpet. Wajahnya pucat pasi, bibirnya mulai membiru. Matanya terpejam rapat. Dari pelipis serta lehernya mengalir keringat.
Seketika ruangan itu terasa sempit dan pengap seperti ruang kedap udara.
Meski dengan wajah yang pucat pasi dan tangan gemetar, tanpa pikir panjang Calvin langsung menghampiri tubuh Deva. Ia tempelkan telunjuknya di bawah hidung Deva--masih ada napas, tapi sangat tipis. Tangannya beralih ke dahi Deva--panas. Kulitnya kering dan kasar, bibirnya pecah-pecah. Tanda-tanda dehidrasi parah.
Jovita yang berdiri di sisi Nina langsung menyadari keseriusan situasi dan menghampiri Calvin. “Aku perlu ambil air minum nggak?” suaranya pecah, nyaris seperti jeritan.
Calvin mengangguk keras, lalu melirik sejenak gadis itu. "Iya!" jawabnya cepat dan tegas, hampir seperti bentakan.
Lelaki itu lalu menoleh ke arah Nina yang masih terduduk lemah di lantai dengan tatapan hampa. “Nina! Tolong telepon ambulans sekarang!"
YOU ARE READING
Let's Escape the Nightmare Together
Teen Fiction[teen fiction, coming of age, magical realism] Nina dan Deva adalah partner in crime sejak masa taman kanak-kanak. Jika ada mereka, maka seisi taman bermain akan porak-poranda. Petualangan penuh keseruan ini bertahan hingga kelas tiga SD, sebelum De...
