Setelah sampai di rumah, hal pertama yang Deva lakukan adalah mengeluarkan sisa uang tabungannya. Amplop itu jelas lebih ringan dari sebelumnya. Namun, ternyata masih ada beberapa lembar uang seratus ribu, beberapa lembar uang pecahan kecil, dan beberapa koin yang berderak pelan saat ia tumpahkan ke meja. Rupanya ia belum cukup boros.
Ia menghela napas, lalu memasukkan uang itu kembali ke dalam amplop, lantas kembali menyimpannya di bawah meja komputer. Setelah itu ia kembali menuruni tangga menuju ruang tamu. Bergegas mengakhiri hari dengan rencana terakhirnya, menamatkan kembali game yang dulu pernah ia mainkan.
Deva mengambil stik konsol yang tergeletak di meja TV, menyalakan mesin PlayStation yang langsung menyambut dengan suara dengung dan lampu indikator hijau yang menyala. Layar televisi langsung menampilkan logo PlayStation. Setelah memilih game, musik epik mengalir dari speaker, menggema di ruangan yang biasanya hening.
Dulu, semenjak ada PlayStation, Deva yang sebelumnya dijauhi oleh anak-anak seusianya tiba-tiba mempunyai banyak teman. Setiap hari Deva akan mengajak teman-temannya untuk bermain bersama. Mereka duduk melingkar di ruang tamu, tertawa lepas, berteriak saat kalah, saling tukar giliran. Tak jarang mereka bertengkar soal giliran bermain, tetapi berdamai dengan mudah setelahnya. Hari-hari itu tak berlangsung lama. Ketika pertengkaran orang tuanya mulai terdengar hampir setiap malam, pintu rumahnya terkunci dari dunia luar. Teman-temannya tak lagi datang. Rumah itu berubah sunyi--bahkan lebih sunyi dari sebelumnya, dan Deva kembali bermain sendiri.
Kini, bertahun-tahun setelah semuanya berubah, ia kembali duduk di depan layar televisi, menggenggam stik yang sama. Beberapa detik pertama masih terasa canggung, jari-jarinya bergerak di stik dengan sedikit ragu, tetapi beberapa saat kemudian tangannya mulai terbiasa dengan ritmenya. Gerakannya terukur, tenang, seolah-olah ia sedang membaca buku yang isinya sudah ia hafal. Musuh demi musuh ia kalahkan. Level demi level ia lalui. Tanpa hambatan berarti, dia menamatkan game tersebut.
Ia tak puas hanya menamatkan satu game. Ia harus menamatkan semuanya. Semua game PlayStation yang pernah ia mainkan dulu.
Langit di luar sudah mulai berubah warna. Hitam pekat kini mulai tercampur biru pudar. Matahari perlahan menampakkan diri dari ufuk timur. Rasa haus, lapar, dan kantuk mulai menghampiri. Perutnya sudah lama kosong, matanya perih, dan tenggorokannya kering. Hal itu tak menghentikan Deva untuk membuka game berikutnya, dan berikutnya lagi hingga waktu terus berjalan. Jemarinya masih lincah menari di atas stik.
Permainan itu, tentu saja, tak lagi seseru dulu. Tidak ada rasa penasaran. Tidak ada tawa dan huru-hara seperti ketika ia dan teman-temannya bermain bersama. Namun, saat ini, ada sesuatu yang hangat mengendap dalam dada. Deva tak yakin apakah itu rasa senang atau rasa sedih. Mungkin itu yang disebut nostalgia?
Dan di tengah keheningan itu, kata-katanya kembali terngiang di kepalanya.
"Kita nggak bisa balik ke masa kecil, Nin. Meskipun kita ngelakuin itu semua sekarang kita nggak bisa sebahagia dulu. Aku nggak bisa hidup kayak kamu ..., kayak semua orang yang pura-pura bahagia."
Kata-kata itu menghantam pikirannya. Ia diam. Pandangannya kosong menatap layar yang terus berkedip, menampilkan skor dan cutscene kemenangan.
Bukankah apa yang ia lakukan sejak kemarin hanya mengulang memori?
Kenapa dia melakukan semua itu?Padahal, ia jelas-jelas telah menentang Nina semua perkataan Nina untuk kembali bersenang-senang seperti dulu.
Semua yang ia lakukan, semua kebahagiaan kecil itu--berkeliling dengan sepeda, makan makanan favoritnya, bermain di arcade, hingga menamatkan game-game di PlayStation lamanya, memang tak bisa menyembuhkan perihnya luka yang selama ini ia terima. Semua itu tak lain hanyalah ilusi, kenangan yang ia hidupkan kembali agar akhir yang ia pilih tampak sedikit lebih berwarna.
YOU ARE READING
Let's Escape the Nightmare Together
Teen Fiction[teen fiction, coming of age, magical realism] Nina dan Deva adalah partner in crime sejak masa taman kanak-kanak. Jika ada mereka, maka seisi taman bermain akan porak-poranda. Petualangan penuh keseruan ini bertahan hingga kelas tiga SD, sebelum De...
