where it all started

5 0 0
                                        

Pagi itu, aku bekerja seperti biasanya. Dengan segala keramahtamahan yang kuperlukan demi bisa mencukupi uang jajan buatku sendiri dan memberi sebagian dari penghasilanku kepada orangtua, aku perlu untuk selalu ramah agar bisa terus bekerja. Karena memang itulah yang diperlukan dari pekerjaanku. Aku tersenyum pada rekan-rekan kerjaku tiap kali kami berpapasan, pada tamu-tamu milik atasan, juga pada segala hal asing yang kebetulan bernapas dan melintas di hadapanku, aku akan tersenyum. Aku lupa persisnya sejak kapan ketika akhirnya aku terbiasa untuk mengulas senyum. Entah itu sejak seorang lelaki asing dari masa sekolah menengah pertamaku secara tiba-tiba mengatakan aku memiliki senyum yang manis hingga membuatku melayang atau hanya karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan aku bersikap ramah sehingga satu-satunya hal yang terpikir olehku dapat kulakukan dengan percaya diri adalah tersenyum? Aku tidak tahu. Tetapi satu hal yang kutahu adalah kebiasaan ini ternyata juga sedikit membawaku pada kesialan.

Singkat cerita, aku didekati seorang pria di kantor. Sebetulnya, ada beberapa pria setelahnya, yang tidak pasti dapat kusebutkan. Bukan karena aku se-laku itu, setidaknya aku berpikir demikian. Aku rasa mereka terjebak oleh pesona senyumku dan sikap ramah berlebih yang kerap kutunjukkan tidak kenal tempat alih-alih karena aku memang semempesona itu bagi mereka. Tapi aku hanya akan sedikit bercerita mengenainya karena dari beberapa pria yang mendekat, aku bisa mengatakan dia cukup berkesan. Aku terkesan dengan bagaimana dia sempat membuatku terbawa perasaan yang beruntung tidak terteruskan sebab aku masihlah gadis yang sulit itu. Dia cukup tampan, aku bisa bilang dia cukup untuk itu. Di kantor, dia justru bersikap tidak begitu mencolok. Perangainya juga biasa saja. Dia tidak senakal Seamus, asisten manajer yang luar biasa tengil itu, yang entah bagaimana menjadi orang yang paling dekat denganku semasa petualangan kami mengarungi drama perkantoran yang sesak.   
Namanya Hamish.

Pada suatu siang di hari Sabtu yang terik, ketika untuk pertama kalinya aku bertanggungjawab penuh atas kerjaanku sendiri, tidak lagi didampingi oleh kakak sebelum aku. Dia, Hamish, secara tiba-tiba, mendekat ke mejaku, duduk di kursi yang menganggur di sebelah dan dengan keberaniannya yang tidak bisa kumengerti, sekonyong-konyong dia meminta akun media sosialku. Aku terperangah, namun dengan sopan tetap menuruti permintaannya hanya supaya terhindar dari hal-hal buruk yang mungkin akan menimpaku jika sikapku yang ketus mendadak mengambil alih. Setelahnya, kami menjadi dekat. Dekat, tetapi juga jauh. Atau kalau harus kusederhanakan, hubungan kami serupa benang yang ditarik ulur, terus menerus seperti itu. Hingga akhirnya, kami sepenuhnya terulur.

Seamus, asisten manajer yang nakal itu, ternyata menyukai teman dekatku. Kejadian ini juga terjadi di Sabtu siang ketika aku yang bosan pergi ke ruangan tempat temanku berada dan berbincang-bincang seru sebelum kemudian Seamus hadir dengan ketengilannya yang khas, meminta kejelasan potongan pajak gajinya kepada teman dekatku. Aku yang berada di antara mereka, mengamati obrolan mereka yang didominasi candaan kelewatan Seamus dan temperamental temanku ketika tahu-tahu, aku berucap tanpa sadar, “Kalian cocok sih, kenapa tidak pacaran saja?” Dan begitulah bagaimana segala sesuatunya dimulai.

Seamus mampir dengan tidak lupa merampas apa pun benda yang ada di sekitar mejaku, kelakuan khasnya adalah mencomot benda dan memainkannya semata untuk membuat kesal targetnya, yang mana kebetulan pada saat itu adalah aku. Aku mendelik, tidak lupa berkomentar tentang betapa bajingannya dia ketika lebih dekat, mulai kusadari wajahnya tampak frustrasi. Aku bertanya ada apa dengannya dan tahu-tahu meluncurlah cerita singkat tentang hubungannya dengan Calista, teman dekatku, yang katanya telah berada di ujung tanduk, dan dia amat  kebingungan dengan hubungan mereka sendiri. Kusimpulkan mereka memiliki kendala dalam berkomunikasi sebab bagi Seamus, ini adalah pertama kalinya meniti hubungan yang serius dan bagi Calista, kepada Seamus tentunya, dia hanyalah seorang pria payah yang tidak peka. Dan bagiku, sebagai satu-satunya yang kenal baik keduanya dan terjebak di antaranya, hanya ingin bersumpah serapah. Tetapi sebagai teman baik yang berusaha keras menjaga netralitas, aku meladeni keduanya dengan rutin memberikan petuah, sesuai dengan bagaimana kondisi mereka saat itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 13 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

"... and, who are they to understand?"Where stories live. Discover now