Sepeda yang dikendarai Deva melesat membelah jalanan perumahan. Kecepatan sepedanya semakin tinggi seiring angin yang bertiup semakin kencang meniup rambutnya hingga sesekali menutupi pandangan mata. Angin itu seolah menyapu bersih debu di pikirannya, membiarkannya terlepas dalam momen ini seolah dunia hanya miliknya.
Di ruko perumahannya, ada sebuah restoran makanan Jepang yang sejak dulu sering ia kunjungi bersama mamanya. Kata mamanya, rasa dari masakan mereka autentik. Deva tak mengerti hal itu, yang ia peduli cuma rasanya enak.
Restoran itu memang tak pernah ramai hingga penuh sesak, tapi pada hari kerja seperti ini, sebelum waktu makan siang, sudah ada empat meja terisi. Sudah lama ia tidak makan di tempat, tapi interior dari restoran ini tak banyak perubahan dari apa yang dia ingat, masih dengan nuansa Jepang tradisionalnya.
Kali ini memesan semangkuk nasi dengan daging yakiniku dan telur onsen, seperti biasanya. Aroma daging yakiniku yang telah tersaji di atas nampan itu menjamah indera penciumannya, membangkitkan gemuruh di perutnya. Saat suapan pertama menyentuh mulutnya, indera pengecapnya mencoba mengenali rasa yang tak berubah—manis, gurih, dan hangat—seolah membawanya kembali ke masa kecilnya pada usia sembilan tahun, ketika ia dengan bangga menghabiskan tiga mangkuk sekaligus, membuat mamanya terperanjat dan terus memujinya. Air mata hampir menggenang di sudut matanya ketika kenangan itu memeluknya, tapi ia tahan.
Setelah dipikir-pikir lagi, sejak dulu kedua orang tuanya memang selalu khawatir dengan nafsu makan anaknya.
Ketika habis menandaskan satu mangkuk daging yakiniku dan segelas ocha, dia diam sejenak, duduk menikmati atmosfer di sekelilingnya--pelayan yang silih berganti mengantar pesanan, kasak-kusuk suara pelanggan yang berbincang, serta aroma masakan yang mengudara. Tanpa sadar, senyum tercipta di wajahnya.
Setelah cukup lama menikmati suasana, ia beranjak, bersiap untuk menuju ke tujuan selanjutnya, yaitu arcade.
Arcade itu terdapat di dalam mall yang tak jauh dari perumahannya, dan untuk sampai ke sana, ia harus melewati sekolahnya. Saat melintas di depan bangunan kokoh itu, sekolah tampak sepi, tak ada siswa yang berlalu-lalang, hanya seorang guru berdiri di pos satpam. Dia tak takut guru itu akan mengenalinya. Tak akan ada yang mengenalinya. Kenal pun mau berbuat apa?
Setelah melewati jalan raya, ia akhirnya sampai di mall tersebut. Setelah melewati jalan raya yang sepi, ia akhirnya sampai di mall. Bangunan itu tak lagi ramai seperti dulu, bahkan banyak toko yang tutup. Satu-satunya yang bertahan adalah supermarket yang seolah menopang keberadaan mall itu.
Dulu, keluarganya rutin belanja bulanan di sini. Sebetulnya Deva tak suka ikut belanja, tapi orang tuanya selalu mengiming-imingi untuk bermain di arcade setelah belanja agar ia mau ikut.
Di antara toko-toko yang silih berganti, arcade itu tetap berdiri kokoh. Lampu neon yang berkedip dan suara denting mesin yang bersahutan seolah memanggil Deva untuk kembali hanyut dalam permainan-permainan itu. Ia menukarkan sejumlah uang seratus ribu untuk mengisi kartu permainan. Dia siap untuk mencoba semua permainan yang ada, tak peduli bahwa saat itu hanya ada dirinya--seorang remaja bolos sekolah--yang bermain di sana. Mulai dari tembak-tembakan, balapan mobil, bola basket, hingga mesin capit boneka. Ia betul-betul tenggelam dalam permainan hingga tak sadar telah mengumpulkan banyak tiket. Mulanya ia tak ingin menukarkan tiket tersebut, tapi akhirnya ia tukarkan semuanya--kenapa tidak, pikirnya.
Permainan-permainan itu tak lagi semenyenangkan dulu. Kini semuanya terasa lebih mudah. Namun, entah kenapa, ia tetap larut dalam euforia ketika bermain.
***
"Calvin, boleh minta tolong nggak?" tanya Nina pada ketua kelasnya.
Lelaki yang saat ini tengah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas itu pun melirik sekilas dan merespons, "Minta tolong apa?"
YOU ARE READING
Let's Escape the Nightmare Together
Teen Fiction[teen fiction, coming of age, magical realism] Nina dan Deva adalah partner in crime sejak masa taman kanak-kanak. Jika ada mereka, maka seisi taman bermain akan porak-poranda. Petualangan penuh keseruan ini bertahan hingga kelas tiga SD, sebelum De...
