8. to him who disappeared from my dreams

3 2 0
                                        

Cahaya matahari menyelinap di sela-sela gorden, menyentuh wajah lelaki itu hingga ia terbangun. Matanya perlahan terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang hangat, lalu ia bangkit santai dari kasur, melirik sekilas ke seluruh ruangan. Ketika kesadarannya telah pulih sepenuhnya, ia pun bangkit terduduk di atas kasur. 

Belum ada dua hari mamanya membereskan kekacauan yang ia ciptakan, kini gelas-gelas kembali menumpuk di meja komputer, beberapa bungkus makanan berserakan di lantai, dan beberapa barang-barang--yang berasal dari kardus yang ia temukan di sudut kamar--tergeletak di nakas.

Barang-barang itu adalah barang-barang penuh kenangan yang dia pikir telah hilang. Foto-foto masa kecilnya, kamera polaroid yang selalu dibawa papanya, jersey klub bola favoritnya, bahkan 'gelang persahabatan' yang diberikan Nina. Waktu itu ia enggan memakainya karena gelang yang terbuat dari manik-manik itu seperti milik anak perempuan. Nina membantahnya dan bersikeras bahwa itu cocok untuk cowok karena warnanya biru.

Deva menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar. Ia segera beranjak dari ranjang dan berjalan gontai ke arah kamar mandi.

Di depan cermin besar, ia melihat rambutnya yang terakhir kali ia cukur asal tiga bulan lalu sudah memanjang, beberapa jerawat muncul di permukaan kulitnya, kantung mata itu kian hari kian menghitam--meski dua hari belakangan dia sudah 'tidur cukup', tubuhnya lebih kurus daripada terakhir kali ia bercermin. Pantas saja waktu itu mamanya sampai menangis melihat kondisinya, padahal mamanya selalu memastikan makanan selalu tersedia di dapur.

Ia kembali berjalan ke luar, lantas membungkukkan badan ke bawah meja komputernya. Tangannya merogoh di bawah meja komputer untuk menemukan amplop cokelat berdebu, tebal dengan uang tabungan bertahun-tahun, membuatnya tersadar tentang seberapa hemat hidupnya selama ini.

Hari ini dia akan membereskan kamarnya sendiri. Dia juga akan pergi ke luar membeli makanan, mungkin sekalian jalan-jalan naik sepeda.

ᯓ★

Kini kamarnya telah bersih. Tak ada sampah berserakan, semua barangnya tertata rapi, lantai bersih mengilat. Ia pun tersenyum kecil. Ternyata dia bisa melakukan semua ini jika punya niat.

Deva segera mengambil hoodie hitamnya di gantungan, memakainya, lalu keluar dari kamar dengan membawa serta amplop cokelat tua berisi tabungannya.

Lelaki bertubuh jangkung itu menuruni tangga spiral yang terbuat dari kayu jati yang dipoles hingga mengilat, menimbulkan suara hentakan pelan, memecah kesunyian di rumah yang kosong itu. Dinding putih bersih di sekitarnya dihiasi oleh beberapa lukisan abstrak dengan coretan didominasi warna abu-abu dan biru yang dibingkai tipis. Dingin terasa di ujung jarinya ketika menyentuh pegangan tangga dari besi berwarna hitam matte.

Ia melewati ruang tamu yang dipenuhi furnitur minimalis--sofa abu-abu, meja kaca dengan tanaman sukulen di atasnya, serta rak buku kayu tanpa ornamen--yang tersusun secara teratur.

Meski sebagian besar waktu rumah ini dipenuhi sunyi, ia tahu seluruh harapan dan mimpi mamanya ada di sini. Ini adalah rumah impiannya yang ia rancang rendiri.

Dulu, sesaat setelah pindah rumah, waktu rumahnya masih kosong melompong, mamanya sering sekali pulang ke rumah, asyik dengan laptop dan sketsa-sketsa yang berserakan. Beberapa kali Deva berusaha mencari tahu apa yang mamanya lakukan. Namun, mamanya hanya tersenyum sambil berkata, "Ini rumah kita."

Tangannya menyusuri sketsa desain yang terbentang di mejanya, kemudian menunjuk-nunjuknya sambil menjelaskan dengan antusias. "Tamannya lebih gede, jadi nanti kamu bisa main bola bareng temen-temenmu. Ruang tamunya juga lebih luas, ada TV yang gede biar kayak bioskop. Nanti kamu juga Mama bikinin kamar sendiri ya?"

Let's Escape the Nightmare TogetherWhere stories live. Discover now