7. to her who never grow up

4 2 0
                                        

Dulu, sebelum mengetahui namanya, Deva sering memanggilnya 'Wendy' karena baginya, Nina mirip maskot restoran Wendy's. Rambut jagungnya yang kemerahan selalu ia ikat dua--terkadang dikepang dan terkadang tidak, bintik-bintik cokelat di pipinya, dan senyumnya yang selalu menampakkan gigi--meski giginya ompong.

Hingga enam tahun berlalu, ia tak banyak berubah. Rambutnya masih sedikit merah, tapi alih-alih bertahan dengan gaya kucir dua khasnya, kini ia lebih senang mengikatnya menjadi kucir kuda. Ia masih memiliki freckles yang menghiasi kedua pipinya. Senyumnya juga masih secerah dulu, meski kini giginya sudah rapi dan tidak ompong.

Dari segi sifat ..., ya, dia sama sekali tak berubah. Sangat ekspresif, selalu ingin tahu segala hal, naif. Kelihatannya ia masih mudah dibodohi. Deva bisa membayangkan Nina, dengan usianya yang kini lima belas tahun, percaya jika diberi tahu bahwa Deva enggan masuk sekolah karena kewalahan mengurus peliharaan dinosaurusnya. Dia pasti akan merengek pada Deva untuk main ke rumahnya demi bertemu T-Rex jinak tersebut.

Mungkin itu juga yang membuat Deva betah berteman dengannya meski ia kesal dengan pertanyaan Nina yang tak ada habisnya.

Dia selalu mendengarkan dan percaya apa pun yang dikatakan Deva. Termasuk dalam hal ini. Setelah bertahun-tahun lamanya, Deva pada akhirnya bercerita pada seseorang tentang apa yang terjadi padanya. Di taman ini, di hadapan Nina yang tak pernah berubah, ia merasa familier, seperti kembali ke masa kecil ketika ia bisa menumpahkan segalanya tanpa rasa takut.

Apakah Deva merasa lebih baik setelah bercerita? Ia tidak tahu, tapi yang jelas ada sedikit kelegaan.

Apakah ia menyesal? Sedikit. Sekarang, rasanya ia semakin sulit melepas dunia ini ....

Lagipula, kenapa dia menunggu selama ini hanya untuk meninggalkan semuanya? Kenapa tidak dari dulu, di mana belum ada yang mengenalnya? Apa yang menahannya sampai sejauh ini?

Wajah mamanya berkelebat di pikirannya. Mamanya yang selalu sibuk bekerja, tak pernah ada di rumah, tapi selalu berkata bahwa ia bekerja banting tulang hanya untuk Deva. Deva membencinya, tapi kini dialah satu-satunya orang yang mengkhawatirkannya.

Apakah karena dia?

Mungkin iya. Terutama setelah mendapat pesan langsung bahwa mamanya menyayanginya.

"T- tapi ... kalo kamu selama ini mau hilang, kenapa kamu mau bertahan? Kenapa kamu masih ada sampe sekarang?"

Nina kembali menagih, tapi Deva tak tahu jawabannya. Hening merangsek di antara mereka. Aroma bunga liar dan tanah basah mengisi udara, menciptakan suasana nostalgia yang seolah memeluk mereka. Di bawah pohon mangga di taman bermain itu, Deva duduk bersandar pada batang pohon yang kokoh, sedangkan Nina berada di hadapannya. Tatapan mata yang membulat itu terus mengikuti gerak-geriknya. Nina seolah enggan berkedip sebelum dijawab oleh Deva.

"Aku nggak tau, Nin." Deva akhirnya bersuara. Kepalanya mendongak, menatap kumpulan awan yang membentuk pola acak, seolah mereka dapat memberinya jawaban atas pertanyaan itu. Kesiur angin meniup-niup helaian rambut pendeknya.

"Mungkin karena mamaku, aku nggak mau dia sedih? Aku ngerasa udah cukup buat dia sedih selama ini?" ujarnya pelan penuh keraguan. Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulutnya.

Baginya, ia bisa memilih untuk mati kapan saja--besok, minggu depan, atau bahkan malam ini--jika ia benar-benar ingin. Tidak ada alasan besar yang menahannya. Tapi ada sesuatu yang membuatnya berpikir, mungkin ada sesuatu yang baru, sesuatu yang belum ia lihat, yang membuatnya menunda keputusan itu. Mungkin, hanya mungkin, hidup masih bisa menawarkan sesuatu yang berbeda, meski ia tak yakin apa.

Nina berkata lirih, "Aku juga bakal sedih kalo kamu nggak ada."

Perasaan inilah yang menahan Deva. Perasaan bahwa ia masih menjadi bagian dari pikiran seseorang, bahwa masih ada orang yang peduli padanya.

Let's Escape the Nightmare TogetherWhere stories live. Discover now