****

Esoknya aku merasa sedikit demam. Mengetahui itu semua orang di rumah langsung panic. Bodohnya lagi Kotoko memberiku obat dengan efek samping mengantuk. Padahal aku yang akan ujian tapi mereka terlihat tegang.

Aku berangkat bersama Watanabe.

"Apa itu jimat buatan sendiri? Apa gadis yang tinggal serumah denganmu itu yang membuatnya?" tanyanya ketika melihat jimat kotoko menggantung di tasku.

"Aku akan membuangnya nanti." Kataku asal.

"Aku pasti merasa kasihan jika harus membuangnya. Sepertinya dia tipeku" komentarnya. Aku hanya menganggap lalu. Dia bilang mungkin kotoko tipenya? Heh... dia belum tahu betapa bodoh dan merepotkannya cewek itu. Lagi pula aku tidak sungguh-sungguh dengan kata-kataku.

Ketika di lift jimat kotoko tersangkut. Aku bingung bagaimana ini bisa tersangkut? Ah sial sekali... Aku segera menariknya berharap talinya putus atau setidaknya bisa lepas dari lift. Tapi sulis sekali. Aku membutuhkan wakti cukup lama untuk melepaskannya. Rasanya malu sekali. Gara-gara itu aku membuat orang-orang tidak bisa menggunakan lift. Sialnya lagi aku di ceramahi salah seorang kariawan di sana. Katanya aku salah seorang anak yang memang suka bermain lift, karena kejadian seperti ini bukan pertama kalinya. Huff... hampis saja aku terlambat.

Jimatnya selamat dan itu membuatku kesal. DIa seperti kotoko, pembuatnya yang selalu memberiku banyak masalah. Akupun membuang jimat itu begitu saja di tangga. Tapi yang terjadi aku malah jatuh dari tangga. Damn.... Kenapa hari ini aku sial sekali. Semua ini karena jimat cewek bodoh itu. Untungnya tidak parah, tapi aku terpaksa harus memakai tongkat. Meski begitu aku masih mampu ikut ujian. Argh... di saat seperti ini semua pensilku patah. Mungkin di karenakan aku jatuh dari tangga. Padahal waktuku tinggal 30 menit.

Ah syukurlah Watanabe meminjamiku pensil. Sudalah aku harus focus mengerjakan ujian.

Break time aku sempatkan untuk makan bekalku. AKu terkejut melihat isi bekalku. Argh... onigiri dan lauk pauk yang di buatnya sungguh mengerikan, yang ada aku bisa sakit perut. Lagi-lagi Watanabe dengan baik hati membagi bekalnya.

"Hei , aku tahu ini bukan urusanku. Tapi lebih baik kau baung jauh-jauh jimatnya."

Oh iya jimat terkutuk itu, "Ketika aku sadar di rumah sakit, benda itu sudah tidak ada bersamaku."

"Baguslah. Dengan begini kau tidak akan terkena masalah lagi."

Dia benar, harusnya aku senang jimat itu tidak lagi bersamaku. Tapi entah kenapa aku tidak merasa senang sama sekali. Aku merasa ada yang hilang dan perasaanku tidak enak. Aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri.

Ketika ujian selanjutnya aku merasa sangat mengantuk. Ugh... ini bukan waktunya tidur. Aku harus menyelesaikan semua ujian hari ini.

Akhirnya selesai juga. Rasanya susah berjalan memakai tongkat begini. Ketika hendak naik tangga aku bertemu dengan perawat dari RS. Dia memberikanku jimat kotoko, katanya ia menemukannya di tangga ketika aku di larikan ke RS.

Rasanya kesal sekali, jimat terkutuk ini kembali lagi padaku. Rasanya seperti Kotoko yang tidak akan pernah bisa enyah dari hidupku. Tapi membayangkan dia enyah dari hidupku pun tidak membuatku senang. Aku benar-benar tidak mengerti dengan diriku sendiri. Sangat mengesalkan.

Aku lulus ujian nasional dengan peringkat tinggi. Aku tidak menyangka aku akan lulus dengan nilai yang memuaskan. Meskipun menurutku ujiannya mudah tapi dengan kondisiku kemarin seharusnya aku mendapat nilai yang tidak sememuaskan ini. Aku benar-benar jenius. Untuk pertama kalinya aku merasa senang dan bangga. Ujian tidak pernah menjadi arti yang kusus tapi kali ini berbeda.

ITAZURA NA KISS : LOVE IN TOKYO (IRIE NAOKI)Where stories live. Discover now