Hari pertama tinggal seatap dengan orang asing.
Lebih tepatnya, dengan seorang gadis yang... terlalu serius, terlalu pintar, dan terlalu cantik untuk jadi adik tiri.
Namanya Farrel, Mahasiswa biasa yang mendadak punya keluarga baru karena ayahnya me...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
****
“Selamat datang di rumah kami! Eh, kok kayak sales ya ngomongnya...” Farrel berkaca di cermin, memandangi wajahnya sendiri sambil terus merapikan rambut.
“Mulai hari ini, kita hidup bareng di bawah satu atap... Hmm, kok malah kayak sinopsis sinetron gitu.”
Dengan tumpukan kardus di sekeliling kamar dan aroma perabotan baru yang masih menyengat, Farrel berdiri di kamarnya. Aran menyewa Apartemen yang terletak di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan—agak ke pinggiran sih, tapi suasananya adem dan jauh dari kebisingan jalan utama.
Apartemen yang memiliki 3 kamar ini tadinya buat tempat tinggal sementara Aran setelah kerja kantoran di daerah Sudirman. Tapi sekarang, setelah resmi jadi suami istri, Aran dan Indah sepakat akan tinggal di sini. Farrel juga tinggal bareng sementara, karena kost lamanya lagi direnovasi. Ya... hidup tuh kadang kayak sinetron, nggak bisa ditebak.
Sudah lima menit terakhir, Farrel bolak-balik depan cermin. Ngelatih ekspresi, gaya ngomong, intonasi suara—kayak lagi siap presentasi skripsi. Padahal, yang datang cuma keluarga baru.
Gila sih, sebenarnya ide ini agak absurd juga. Kenapa orang tua Farrel malah nyuruh dia, anak kuliahan semester lima yang lebih sering makan mie instan daripada nasi, buat nyiapin kamar buat cewek asing yang bakal jadi adik tirinya mulai malam ini?
Sambil geleng-geleng kepala, Farrel ngebatin, “Ini beneran bukan sinetron ya?”
Soalnya mulai saat ini, mereka kedatangan dua penghuni baru yaitu Indah dan putrinya, Marsha.
“Eh, kamu lihat parfum ruangan yang botol semprotnya biru itu nggak?”
Suara Aran, ayah Farrel, terdengar dari lorong. Langkah sandalnya menyeret-nyeret kayak orang kelelahan.
“Kayaknya tadi aku semprotin tirai di ruang tamu pakai itu, deh,” jawab Farrel.
“Ahh, ketemu. Makasih!”
Farrel bisa dengar suara langkah panik Aran bergegas ke ruang tamu, kayak buru-buru mau nemuin benda paling penting di dunia. Farrel melongok dari balik pintu kamar.
“Ngapain sih, heboh banget?”
“Tadi pas papah ngendus-ngendus kamar, kok ada bau apek gitu ya... jangan-jangan mereka pikir kita jorok! Aduh, gawat!”
“Pah, serius deh... Papah, laki-laki atau emak-emak sih? Kok kayak gitu aja sampai panik.”
“Papah tuh udah kepala empat, bau itu musuh utama. Kamu belum mengerti sekarang, tapi tunggu aja dua puluh tahun lagi!”
Farrel cuman ngelihatin punggung ayahnya yang makin menunduk kayak kucing kehujanan. Dia mengelus dada.
“Kadang aku lupa kalau bapakku tuh lebih ribet dari ibu-ibu arisan.”
Farrel masuk ke kamarnya lagi lalu berpikir sejenak. “Kamarku udah bersih, kan? Masa masih bau?”
Karena nggak mau Marsha nyium bau kamar cowok yang udah tiga hari nggak ganti seprai, Farrel bener-bener udah bersih-bersih dari kemarin.