San meringis. Pukulan itu bukan keras, tapi cukup membuat kepalanya pening.

"Lo mukul gue lagi, gue rem dadakan, Wooyoung."

Wooyoung mencibir, lalu diam.

Motor itu terus melaju di jalanan ramai, sampai akhirnya mendekati area sekolah.

Tiba-tiba, Wooyoung menepuk bahu San lagi.

"Berhenti di sini."

"Hah?"

"Berhenti. Gue mau jalan sendiri. Gak mau masuk sekolah bareng lo"

San menghela napas dan berhenti di pinggir trotoar tanpa bertanya lebih lanjut. Begitu Wooyoung turun, San langsung putar gas dan pergi begitu saja tanpa sepatah kata, tanpa menoleh.

Wooyoung berdiri melongo, memandangi punggung San yang makin menjauh.

"Eh? Serius? Dia cabut gitu aja?"

Ia benar-benar tidak menyangka San akan langsung pergi seperti itu. Padahal, dalam bayangannya, San akan ribut dulu atau minimal bertanya kenapa.

"Dasar bajingan," gumam Wooyoung, lalu menendang kerikil di depannya dan berjalan ke sekolah sendirian.

Di dalam hatinya, ada sedikit rasa tidak nyaman.

Namun tentu saja, Wooyoung terlalu keras kepala untuk mengakuinya.

×

Langkah Wooyoung memburu napasnya. Napasnya tersengal, tasnya bergoyang liar di punggung saat ia berlari menuju gerbang sekolah yang perlahan mulai tertutup.

"Sebentar pak! Jangan tutup dulu!" teriaknya di antara hembusan napas.

Satpam yang sudah hampir menutup pagar hanya menggeleng, lalu membuka celah kecil. "Telat dikit lagi, Wooyoung. Besok nggak ada ampun."

"Siap, Pak," jawab Wooyoung cepat, menyeringai sambil menahan lututnya. "Hari ini pengecualian, ya."

Baru beberapa langkah masuk, telinganya langsung menangkap suara riuh. Di sisi kiri taman sekolah, sekelompok siswi sudah berkumpul, mata mereka berbinar.

"Gila lo liat nggak tadi? Anak baru itu."

"Yang di motor hitam itu, kan? Astaga, cool banget."

"Katanya pindahan dari Korsel, lho. Jelas aja vibes-nya beda!"

Wooyoung reflek menoleh ke arah yang dimaksud. Dan benar saja di sisi parkiran, seorang cowok dengan seragam rapi dan wajah datar berdiri di dekat motornya. Helmnya sudah dilepas, rambutnya rapi, postur tubuhnya tegap dan tenang.

San.

Wooyoung mengepalkan jemarinya sebentar. Matanya menatap tajam dari kejauhan.

Baru juga masuk, udah kayak seleb. Padahal

Ia menarik napas panjang.

Dulu gue masuk sekolah ini, nggak ada yang peduli. Bahkan senyuman aja nggak ada yang ngasih. Tapi cowok ini cuma diem aja udah bikin orang-orang jatuh hati.

Wooyoung memalingkan wajah cepat-cepat, lalu bergumam, "Ah, bodo amat. Gue juga nggak kalah keren. Bahkan gue lebih ganteng dari dia."

Ia melangkah ke dalam sekolah, mencoba menjaga wibawa di balik rasa sebal yang meletup di dada.

Saat melewati koridor, beberapa teman sekelas sempat menyapanya. Tapi Wooyoung hanya membalas seadanya. Telinganya sempat menangkap obrolan dari belakangnya.

"Eh, katanya hari ini ada murid baru ya?"

"Iya, udah masuk dari gerbang tadi. Ganteng banget sumpah."

"Coba deh kalo dia satu kelas sama kita."

"Lo jangan naksir dulu, siapa tahu dia nyebelin."

Wooyoung hanya mendengus. Nyebelin? Iya. Lo semua nggak tahu aja dia saudara tiri gue sekarang.

Tapi tentu, dia nggak akan bilang. Belum saatnya.

Satu hal yang pasti kehidupan Wooyoung di sekolah yang biasanya tenang, sebentar lagi bakal berubah.

Dan semua itu gara-gara San.

×

Wooyoung membuka pintu kelas dan langsung disambut suasana pagi yang biasa riuh tapi terasa lebih berisik dari biasanya.

Ia melangkah ke bangkunya yang terletak dekat jendela. Baru saja ia duduk, sebuah suara langsung menyapanya.

"Pagi, Uyong!"

Wooyoung menoleh sedikit. Itu Yeosang teman sekelasnya yang duduk di sebelahnya. Cowok dengan gaya santai dan senyum yang selalu ceria.

Wooyoung hanya mengangguk sambil membuka tasnya. "Pagi."

Yeosang memperhatikan wajahnya beberapa detik, lalu menyipitkan mata. "Lo kenapa? Muka lo kayak abis digigit nyamuk sekeluarga. Kesel ya?"

Wooyoung menoleh pelan. Tatapannya tajam, tapi bukan untuk Yeosang. "Nggak apa-apa."

"Yakin?"

"Iya."

"Yakin banget?"

"Gue bilang nggak apa-apa, kan."

Yeosang tertawa kecil, angkat tangan menyerah. "Oke, oke. Santai, Yong. Jangan makan gue."

Wooyoung menarik napas. Ia tahu Yeosang nggak bermaksud apa-apa. Tapi hari ini, semua terasa salah.

Dan sayangnya, Yeosang belum selesai bicara. "Oh ya, lo udah liat anak baru belum? Yang barusan masuk lewat gerbang tadi?"

Wooyoung diam.

"Wah, cowok itu keren banget, sumpah. Motor gede, muka yang waw super cakep, apalagi tatapannnya tajem banget. Gila, kayak karakter utama di drakor."

Wooyoung membuang muka ke luar jendela. Jemarinya mengepal di bawah meja.

"Eh, jangan-jangan lo belum liat ya? Sayang banget, Yong. Gue sih langsung naksir gaya jalannya. Ada aura-aura keren gitu."

Wooyoung menghela napas dalam. Lalu akhirnya bersuara, tanpa menoleh. "Orang biasa aja digituin. Kelewatan sih."

Yeosang tertawa lagi. "Iri ya?"

Wooyoung langsung memelototinya. "Siapa yang iri?"

Yeosang cepat-cepat mengangkat tangan. "Eh eh, gue bercanda! Jangan ngamuk gitu dong."

Wooyoung mendengus. Iri? Ya jelas. Tapi dia nggak akan pernah ngerti.

Dalam hati, Wooyoung merasa seperti seseorang yang sedang berdiri di tengah panggung tapi semua lampu sorot malah menyoroti orang lain.

Dan sialnya, orang itu adalah saudara tirinya sendiri.

We're Too Close || SANWOO / WOOSANWhere stories live. Discover now