BAB 5 - Apakah Harus?

7 1 0
                                        

SETELAH selesai dengan masa skorsing nya, Shanaya kembali melaksanakan tugasnya sebagai kameramen. Shanaya senang, teman-teman kantornya memberikan support padanya, dan tidak terlalu banyak bertanya mengapa ia di skors. Ia juga senang tidak bertemu dengan Ririn-si Mak Lampir. Kali ini, ia dan tim nya akan meliput sebuah berita yang membahas tentang Sangketa Lahan.

Shanaya menyesuaikan fokus kameranya, memastikan Ibu Siti---narasumber terlihat jelas dalam frame. Tangan kirinya menopang kamera, sementara tangan kanan sesekali mengusap keringat yang menetes dari dahi. Suasana di lokasi mulai riuh, aparat berdiri dari kejauhan, sementara para warga masih mengangkut barang-barang seadanya.

Disebelahnya, Fitri----reporter satu timnya, melangkah mendekat ke seorang wanita paruh baya yang tampak duduk di atas tikar lusuh, tepat di depan rumah yang sudah roboh.

Fitri mendekatkan mikrofon di bibirnya. "Bu, maaf, saya Fitri, dari redaksi PenaKita. Kami sedang meliput situasi di sini. Boleh saya bertanya sedikit?"

Ibu Siti mengangguk lemah, seolah tak lagi punya daya. "Silakan, Nak ... Saya juga bingung mau cerita ke siapa lagi..."

Shanaya menekan tombol rekam, memastikan audio tertangkap sempurna. Ia melihat ke layar kecil di kameranya. Framing-nya pas. Tapi ada sesuatu yang menyesakkan di dada saat ia melihat mata Ibu Siti yang sembab.

"Ibu tinggal disini udah berapa lama, Bu?" Tanya Fitri.

"Udah tiga puluh tahunan, Nak ... Dari jaman anak saya masih SD. Rumah ini kami bangun sendiri, udah nabung bertahun-tahun buat bangun. Eh, sekarang katanya tanah ini tanah milik proyek. Kami disuruh angkat kaki gitu aja, Nak ..." Ujar Ibu Siti, matanya berkaca-kaca.

Fitri menahan diri agar tidak menghela napas, tak mau napasnya terekam. Padahal, ia sudah begitu terbawa emosi sebetulnya. Tak bisa membayangkan para warga yang dulu sudah bekerja keras membangun rumah demi keluarganya, dan pada akhirnya malah hancur dalam persekian detik. "Ada pemberitahuan sebelumnya, Bu? Atau sosialisasi dari pihak terkait?" Tanyanya.

Ibu Siti menggeleng pelan. "Ada, tapi cuma tempelan surat di pos ronda. Itu pun baru seminggu yang lalu. Terus dua hari kemudian langsung dateng paar aparat sama alat berat. Katanya kami bisa pindah ke rusun, tapi rusunnya belum siap, air belum nyala, listrik juga belum masuk."

Shanaya menggigit bibirnya, menahan rasa sesak ketika mendengar cerita dari Ibu Siti. Ia menggeser sedikit posisi kamera, menangkap sudut lain. Seorang anak kecil sedang duduk memeluk boneka beruang yang sudah usang di pinggir tumpukan kayu. Shanaya mengatur fokus, lalu kembali menyorot ke arah Bu Siti yang tak jauh dari anak kecil tadi.

"Apa yang paling Ibu Siti khawatirkan sekarang?" Tanya Fitri.

Ibu Siti menghela napas, lalu menatap kearah anak kecil tadi yang tak lain adalah cucunya sendiri. "Saya khawatir sama cucu saya, Mbak ... Mereka masih kecil, belum ngerti apa-apa, tapi malah harus mebghadapi musibah kayak gini. Rumah ini satu-satunya tempat teraman bagi mereka setelah kedua orang tuanya meninggal ..." Suaranya pilu, Ibu Siti mulai terisak.

Shanaya menatap kameranya, semuanya stabil. Suara stabil, gambar juga stabil. Namun tidak dengan hatinya. Ada secuil rasa sakit ketika mendengar jawaban dari narasumbernya tersebut. Begitu sulit hidup mereka, apalagi anak kecil itu. Sudah ditinggal orang tuanya sejak kecil, dan sekarang? Mereka juga harus kehilangan rumah yang satu-satunya menjadi tempat ternyaman untuk hidup. Dan Ibu Siti? Ia harus menghidupi cucunya dengan pekerjaan yang pas-pasan. Shanaya jadi memikirkan sesuatu. Apakah ... Apakah dia kurang bersyukur?

Setelah itu, Shanaya tak lagi fokus pada apa yang diucapkan oleh Fitri dan Ibu Siti. Ia terlalu jauh dengan pemikirannya sendiri sampai akhirnya Fitri mulai menurunkan mikrofonnya. Sesi wawancara pun selesai.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 24 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Shanaya dan Pria di Antara SenjaWhere stories live. Discover now